Ini Kelemahan Perppu No. 1/2014 Tentang Pilkada

Bisnis.com,25 Jan 2015, 15:50 WIB
Penulis: Lili Sunardi
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly (ketiga kanan) dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo (kedua kiri) beserta anggota Komisi II DPR mengangkat tangan usai penandatanganan draf final Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Pilkada dalam rapat kerja di Jakarta, Senin (19/1)./Antara

Bisnis.com, JAKARTA—Disepakatinya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota sebagai UU, dianggap belum menyelesaikan persoalan pemilihan umum kepala daerah (pemilu).

Singkatnya masa masa penyusunan beleid tersebut memunculkan celah masalah baru dalam pelaksanaan pilkada langsung secara serentak. Apalagi, Perppu tersebut tidak melibatkan ahli hukum tata negara, ahli pembuatan peraturan perundangan, ahli politik, dan praktisi pemilu.

“Setidaknya ada tujuh substansi baru dalam pelaksanaan pilkada yang diatur dalam Perppu No. 1/2014, dan itu berpotensi memunculkan masalah baru,” kata Didik Supriyanto, Ketua Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) di Jakarta, Minggu (25/1/2015).

Didik mengatakan ketujuh substansi baru dalam Perppu No. 1/2014 yang dapat memunculkan masalah, adalah pencalonan tunggal, pencegahan dinasti politik, uji publik, pembatasan dana kampanye, pemungutan dan penghitungan suara secara elektronik, penyelesaian hasil sengketa ke Mahkamah Agung, dan pemungutan suara serentak.

Didik menuturkan pencalonan tunggal untuk bakal calon kepala daerah berpotensi memunculkan konflik di daerah yang masyarakatnya terbelah secara etnis dan agama, seperti di Sumatra Utara, Kalimantan Barat, serta Papua, karena menghilangkan fungsi representasi kelompok pada unsur pimpinan daerah.

“Elit politik lokal sebenarnya sudah memahami fungsi representasi itu untuk mencegah konflik sosial di wilayahnya. Makanya di pasangan calon yang diusung dalam pilkada beberapa daerah adalah kombinasi dari golongan tertentu,” ujarnya.

Menurutnya, pencegahan politik dinasti dalam beleid itu juga dapat menjadi masalah, karena melarang keluarga kepala daerah yang menjabat sebagai calon kepala daerah baru. Uji publik yang bertujuan menyaring calon kepala daerah berkualitas pun dapat memperpanjang tahapan pelaksanaan pilkada, sehingga menambah biaya yang diperlukan untuk penyelenggaraannya.

Kemudian pembatasan dana kampanye justru tidak jelas, karena tidak menyebutkan apakah pemasukan atau pengeluaran dana kampanye yang harus dibatasi. Sementara itu, pemungutan suara secara elektronik terkesan buru-buru, karena selama ini belum ada kajian menyeluruh untuk penerapannya di dalam negeri.

Selanjutnya, pengaturan penyelesaian sengketa pilkada melalui Mahkamah Agung berpotensi memunculkan persoalan, karena sebelumnya Mahkamah Konstitusi mengoreksi kewenangan lembaga tersebut dalam menangani sengketa pilkada.

Alasannya, pilkada dilakukan secara langsung dan masuk ke dalam rezim pemilu, sehingga penyelesaian sengketanya ditangani oleh Mahkamah Konstitusi.

Terakhir, pelaksanaan pemungutan suara secara serentak yang dirancang untuk menekan biaya pelaksanaan pilkada dapat menjadi beban tersendiri bagi penyelenggara pemilu. Pemungutan suara secara serentak juga dapat mempengaruhi perilaku pemilih dan partai politik, sehingga berdampak pada hasilnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Fatkhul Maskur
Terkini