IKM Tekstil di Jabar Dituntut Kreatif Cegat Pakaian Impor Bekas

Bisnis.com,05 Feb 2015, 14:46 WIB
Penulis: Adi Ginanjar Maulana, Wisnu Wage Pamungka, Ria Ind
IKM pertekstilan menjadi salah satu pilihan mengadang pakaian bekas impor yang merugikan kesehatan./Bisnis

Bisnis.com, BANDUNG - Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat meminta industri kecil dan menengah sektor tekstil dan produk tekstil terus memacu produksi dengan inovasi dan kreativitas, menyusul merebaknya penjualan pakaian bekas impor di masyarakat.

Kepala Disperindag Jabar Ferry Sofwan Arief mengatakan merebaknya pakaian impor bekas akibat IKM belum banyak berinovasi dan kreatif dalam memproduksi barang.
Akibatnya, masyarakat lebih memilih pakaian bekas impor karena dianggap lebih berkualitas, serta harganya jauh lebih murah.

"IKM harus semakin berinovasi dan kreatif dalam menjual produknya. Dengan demikian, ini bisa menjadi salah satu solusi untuk menangkis serangan pakaian bekas impor ke dalam negeri terutama Jabar," katanya, Kamis (5/2/2015).

Kendati demikian, dia mengakui bila pelaku IKM saat ini masih terkendala modal serta pengetahuan untuk terus melakukan inovasi dan kreativitas.

Oleh karena itu, pihaknya akan memperbanyak program peningkatan kapasitas sumber daya manusia, serta pembangunan jaringan antar pelaku industri tanpa melupakan fasilitas promosi dan pemasaran.

Menurut Ferry, penjualan pakaian bekas impor, merujuk kepada Peraturan Menteri Perdagangan yang sudah berlaku beberapa tahun, berisi larangan praktik penjualan barang bekas impor termasuk pakaian. Adapun barang bekas impor yang boleh dijual hanya mesin.

"Dengan munculnya sidak soal penjualan pakaian bekas yang merebak di beberapa tempat, masalah bakteri adalah masalah tambahan saja," ujarnya.

Sementara itu, Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jabar Kevin Hartanto menilai impor pakaian ilegal telah menjadi masalah klasik yang dihadapi industri TPT dalam negeri.

"Konsumen mengenah ke bawah melihat harga dan selera barang impor itu lebih murah dan bagus. Hal ini yang memicu produk dalam negeri kurang terserap di pasar domestik," katanya.

Kondisi serupa terjadi untuk kelas menengah atas yang menikmati produk impor dengan promo di berbagai musim. Kondisi ini menyebabkan daya saing produk TPT lokal merosot.

Kevin menjelaskan produk dalam negeri sempat merajai pasar domestik selama 15 tahun yang mampu memenuhi kebutuhan sekitar 70%, sementara saat ini hanya tinggal 40%."

Menurutnya, penurunan ini terasa signifikan sejak 2010 yang ketika itu masih menguasai 50%  dan makin tergerus dengan kebijakan bea masuk impor nol.

“Agar industri TPT dalam negeri bisa berdaya saing maka pemerintah harus benar-benar menindak tegas impor ilegal,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Yusuf Waluyo Jati
Terkini