FITRA: Politik Anggaran Jokowi-JK Tidak Memihak Rakyat

Bisnis.com,05 Apr 2015, 15:56 WIB
Penulis: Editor
Presiden Joko Widodo (kiri) dan Wapres Jusuf Kalla berjalan menuju ruang rapat kabinet terbatas di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Rabu (1/4/2015./Antara-Widodo S. Jusuf

Bisnis.com, JAKARTA - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menilai politik anggaran pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dianggap tidak lagi berpihak kepada rakyat.

Manajer Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Apung Widadi menyebutkan politik anggaran Jokowi-JK lebih memihak kepada birokrat.

Gejala penyimpangan tersebut, paparnya, terlihat dari beberapa kebijakan yang diputuskan Jokowi-JK.

"Ada tiga poin yang kami soroti yang menunjukkan penyimpangan politik anggaran Jokowi," ujarnya Ahad (5/4/2015).

Pertama, Jokowi justru menaikkan alokasi uang muka mobil pejabat yang mencapai Rp 158,8 miliar. Jokowi meneken peraturan presiden yang menaikkan fasilitas uang muka mobil pejabat dari Rp 116 juta menjadi Rp 210 juta per orang pada 20 Maret 2015 .

Total pejabat yang bakal menerima kenaikan uang muka pembelian mobil itu berjumlah 753, yakni anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, hakim Mahkamah Agung, anggota Komisi Yudisial, hakim Mahkamah Konstitusi, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan.

Kedua, Presiden Jokowi pelit kepada pemerintah daerah karena menarik sebagian besar Dana Bagi Hasil (DBH) untuk pemerintah pusat melalui kementerian. Penurunan DBH untuk daerah mencapai Rp 15,1 triliun.

Kebijakan tersebut dinilai akan mempersempit ruang gerak daerah dan semakin menegaskan dominasi pemerintah pusat dalam menjalankan pembangunan nasional. "Pemerintah pusat seperti memeras daerah untuk mendapat pemasukan," kata Apung.

Ketiga, penyimpangan berikutnya terlihat dari adanya dana program Revolusi Mental sebesar Rp 172 miliar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015.

Apung menyatakan belum ada kejelasan mengenai peruntukan anggaran ratusan miliar itu.

Anggaran Revolusi Mental yang diminta Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani itu akan digunakan untuk proyek sosialisasi, seminar, dan komunikasi publik.

"Kegiatan itu hanya pemborosan. Bukannya revolusi mental, anggaran itu justru merusak mental," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Yusran Yunus
Terkini