Di Surabaya, Anda akan melihat banyak taksi wira-wiri dengan iklan yang hampir menutupi seluruh lambung mobil untuk mempromosikan MMM. Tagline “30% Per Bulan! Dana yang Saling Menguntungkan di Seluruh Dunia” terpampang jelas pada ratusan armada.
Setidaknya, berdasarkan pantuan Bisnis, sudah ada 3 perusahaan taksi di Surabaya yang memasang iklan MMM pada badan mobil mereka. Jika boleh disebut, mereka adalah Taksi Silver, Express, dan Gold Limo.
Jika Anda iseng-iseng naik salah satu taksi tersebut, dan menanyakan kepada sopirnya apa yang mereka ketahui tentang MMM, kemungkinan besar balasannya adalah mereka tidak tahu banyak. Yang mereka tahu hanyalah; “Ini katanya perusahaan yang menghasilkan.”
Sebenarnya, MMM itu apa? Manusia Membantu Manusia? Mavrodi Mondial Moneybox? Tapi, kenapa banyak juga yang memelesetkannya menjadi ‘Manusia Merugikan Manusia’ atau jargon-jargo lain yang berkonotasi negatif.
Keberadaan MMM di Indonesia dengan penetrasi yang makin masif selama 2,5 tahun terakhir telah ditanggapi secara represif oleh pemerintah. Woro-woro ke masyarakat langsung disebar, yang menyatakan organisasi tersebut berpotensi merugikan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun telah mengambil sikap kontra. Tak terkecuali, OJK Kantor Regional 3. Tidak bosan-bosan mereka mengadakan sosialisasi sampai ke pelosok Jawa Timur agar masyarakat tidak tergiur oleh iming-iming return 30% dalam sebulan.
Rupa-rupanya, kubu MMM tidak kalah jeli dalam bermanuver. Melalui Forum Komunitas Mavrodian Indonesia (FKMI), pihak MMM justru menuding pemerintah memberangus kebebasan berkomunitas kelompok yang berpusat di Rusia itu.
Hal menarik terjadi Jumat pekan lalu (8/5/2015) di Surabaya. Para loyalis Sergey Mavrodi itu akhirnya berani menampakkan keberadaan mereka kepada insan pers, setelah sekian lama pemberitaan terkait MMM hanya bersumber dari kubu pemerintah atau pihak yang kontra.
Sebenarnya pertemuan terbatas tersebut sudah dijadwalkan beberapa kali, tapi batal. Lalu, ketika akhirnya FKMI diberi ‘kesempatan bicara’, apa yang mereka koarkan? Tentunya serangan balik terhadap pemerintah, khususnya OJK.
Ketua I FKMI M. Syafieq dengan berapi-api menyatakan MMM adalah komunitas, bukan program investasi, bukan pula lembaga keuangan yang diawasi oleh OJK. “Jadi OJK tidak berwenang membuat kebijakan yang merugikan komunitas kami,” tegasnya.
Dia mengklaim keputusan Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir situs resmi MMM Indonesia adalah ‘akal-akalan’ OJK untuk meminimalisir masyarakat yang hendak bergabung dengan harapan mendapat profit 30%.
Ketua Umum FKMI Andreas Sutrisno menjelaskan sumber reward 30% dari MMM bukanlah bunga atau laba usaha. Namun, berasal dari bantuan partisipan yang diatur melalui sistem secara otomatis.
Mengenai risiko, dia mengaku MMM tidak memberi jaminan karena memang bukan lembaga investasi tapi komunitas penyalur bantuan antaranggota. “Jika seseorang yang bergabung menyadari uangnya akan didistribusikan untuk memberi bantuan, maka tidak ada risiko.”
Mereka juga menolak MMM dikatagorikan sebagai organisasi skema ponzi. Dalihnya, skema ponzi hanya menguntungkan anggota-anggota yang posisinya berada di atas piramida. Sedangkan MMM sebaliknya, semakin di bawah, transfer return ke anggota semakin besar.
Singkat kata, pada pertemuan tersebut, FKMI meminta OJK dan Kemenkominfo membuka kembali situs resmi MMM, yang mengklaim telah mimiliki 6-7 juta anggota di seluruh Nusantara. Padahal, masih ada 28 situs kloning lain yang berafiliasi dengan MMM Indonesia.
“Kami ini hanya komunitas, dan sebagai komunitas tidak perlu mendapatkan izin usaha atau legal standing. Kalau sikap pemerintah seperti ini, kami akan gugat balik OJK atas dasar pemberangusan kebebasan berkomunitas,” koar Syafieq.
SALING TUNGGU
Menariknya, begitu mendengar pernyataan terbuka FKMI, OJK KR 3 pada hari yang sama langsung gerak cepat mengklarifikasi. Namun, bukannya mencairkan suasana, nuansa konflik kedua pihak semakin tereskalasi.
“Mereka [FKMI] sedang menunggu manuver OJK dan mencari celah untuk menyerang. Mencari-cari kesalahan pemerintah. Ibaratnya, kami sedang kejar-kejaran,” aku Kepala OJK KR 3 Soekamto.
Bahkan, dia menegaskan beberapa klausul dari hasil audiensi FKMI dengan Satgas Waspada Investasi OJK beberapa waktu lalu telah ‘dipelintir’. “Kami tidak pernah memberi lampu hijau kepada MMM.”
Representasi tertinggi OJK di Jatim itu tetap mengkatagorikan MMM sebagai produk money game yang berpotensi merugikan masyarakat. Iming-iming imbal yang tinggi tanpa disertai transparansi pengelolaan dana dianggap tidak aman bagi konsumen.
Tidak adanya kejelasan hukum, kepastian risiko, dan asal muasal dana yang dijadikan sumber return juga menjadi sorotan OJK. Mereka tetap meminta masyarakat waspada dan tidak mudah silau dengan iming-iming yang tidak rasional.
Apalagi, beradasarkan pengalaman beberapa rekan di Jatim, banyak warga di tingkat kabupaten yang sampai menjual harta berupa sapi atau tanah hanya untuk ‘menginvestasikan’ uang mereka karena tergiur imbal tinggi dalam jangka waktu hanya sebulan.
Tentunya, bukan salah masyarakat jika tergiur imbal tinggi. Banyak yang menginginkan bunga tinggi tanpa risiko, dalam waktu sekejap. Toh, keikutsertaan dengan program money game tidak diharamkan secara legal oleh pemerintah.
Masalahnya, sampai kapan OJK mau bermain kucing dan tikus dengan MMM? Keberadaan MMM yang sudah sedemikian meresahkan warga Jatim tidak diimbangi oleh tindakan tegas dari otoritas atau aparat. Warga terus bertanya-tanya, “Apa sih sebenarnya MMM?”
Di satu sisi, OJK merasa tidak berhak menindak karena praktik MMM bukan berada di bawah kewenangan pengawasan mereka. Di sisi lain, tindakan preventif berupa edukasi masyarakat saja tidak akan cukup membendung hasrat warga untuk ‘coba-coba peruntungan’.
Masalah lainnya, sampai sekarang, belum ada ‘korban’ MMM yang melapor ke kepolisian. Padahal aparat baru bisa menindak jika sudah ada laporan. “Mungkin mereka malu, karena banyak juga korban yang berasal dari kalangan elit,” ungkap Soekamto.
Deputi Direktur Perizinan, Informasi, dan Dokumentasi Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Timur Titin Soemantri mengungkapkan sampai saat ini belum ada pengaduan yang masuk terkait MMM.
“Namun, sudah ada 235 permintaan informasi dari masyarakat soal MMM. [Permintaan informasi tersebut] mencakup persoalan aspek legalitas, perizinan, dan keamanan MMM ini,” katanya.
Menyelamatkan masyarakat dari praktik money game yang berpeluang merugikan adalah PR berat OJK. Diakui Soekamto, membuat regulasi baru untuk menangani kasus serupa juga tidak akan mudah.
Lantas, bagaimana? Masyarakat menunggu pemerintah untuk cepat bertindak. Mereka butuh kejelasan. Mereka butuh keamanan atas aset mereka. Jika bukan kepada otoritas, lantas ke mana lagi perlindungan didapatkan? Jadi, sampai kapan mau kucing-kucingan?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel