Bisnis.com, JAKARTA--Belum lama ini, sebuah gugatan kepada salah satu perusahaan asuransi terkait klaim surety bond dilayangkan ke pengadilan. Produk penjaminan yang melibatkan tiga pihak ini memang rentan sengketa, apa sebab?
Adalah KZI Singapore (KZIS) yang menggugat PT Asuransi Recapital karena tidak membayar klaim surety bond yang sudah dikeluarkan perusahaan asuransi tersebut. Pada kasus ini, yang bertindak sebagai prinsipal atau pihak yang dijamin adalah PT Putra Samudra.
Pada 23 Februari 2011, KZIS melakukan perjanjian dengan PT Putra Samudra. Dalam perjanjian itu disebutkan KZIS akan membeli konsentrator yang dibangun oleh PT Putra Samudra di Bogor. Asuransi Recapital adalah penjamin dari penjanjian tersebut. Itu artinya, jika Putra Samudra gagal memenuhi pernjanjiannya, maka Recapital yang berkewajiban membayar ganti rugi kepada KZIS.
Dalam perjalanannya, PT Putra Samudra tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk membangun konsentrator dalam jangka waktu yang telah disepakati. Tetapi Recapital menolak untuk memproses klaim KZIS dan menyarankan KZIS untuk melanjutkan diskusi mengenai kelanjutan proyek dengan PT Putra Samudra.
Perusahaan asuransi itu terus menolak untuk memproses klaim KZIS bahkan saat PT Putra Samudra telah dinyatakan pailit oleh pengadilan pada 16 Februari 2015 lalu.
Penolakan tersebut bukan tanpa alasan. Kuasa Hukum Asuransi Recapital Roni Hutajulu mengungkapkan bahwa bond yang dikeluarkan klien-nya telah cacat formal. “Bukan klaimnya yang cacat hukum, tetapi bond nya sendiri yang sejak semula sudah cacat,” katanya.
Selain itu, dia menilai dengan terdaftarnya KZIS sebagai kreditur tetap pada proses kepailitan Putra Samudra, maka perusahaan tersebut berharap mendapat penyelesaian dari harta pailit. Itu artinya jika Asuransi Recapital membayarkan jaminan, maka perusahaan itu akan mendapatkan pembayaran ganda.
Itu hanya satu contoh kasus, Alwesius, dosen magister hukum Universitas Indonesia mengatakan produk surety bond memang lebih rentan terhadap sengketa jika dibandingkan dengan penjaminan yang dikeluarkan oleh bank, atau Bank Garansi. Pasalnya, pada produk surety bondtidak ada jaminan dana dari nasabah seperti pada Bank Garansi.
Prinsipal atau pihak yang membutuhkan jaminan dari perusahaan asuransi tidak memiliki sejumlah uang berupa tabungan. Tetapi, prinsipal harus membayar premi dan bersedia menandatangani indemnity letter atau surat perjanjian ganti rugi yang dilegalisir notaris.
Prinsip surety bond berbeda dengan prinsip asuransi pada umumnya yang memberi manfaat atas risiko. Dalam surety bond, setelah klaim dibayarkan, prinsipal harus tetap membayar ganti rugi yang sebelumnya dibayarkan perusahaan asuransi.
Menurut Alwesius, indemnity letter adalah jaminan bagi perusahaan asuransi bahwa prinsipal akan membayar kerugian yang sebelumnya ditalangi oleh perusahaan asuransi. Namun, pada praktiknya, indemnity letter tersebut seringkali tidak ditandatangani sejak sebelum perusahaan asuransi mengeluarkan jaminan.
Berdasarkan pengalamannya, ada beberapa kasus sengketa yang terjadi karena ketidaktegasan perusahaan asuransi soal Indemnity lettertersebut. “Beberapa perusahaan atau prinsipal kadang dengan sengaja menunda-nunda penandatanganan ini sampai pada akhirnya, terjadi klaim,” katanya.
Itu sebabnya dia menyarankan kepada seluruh perusahaan asuransi untuk tegas pada aturan bahwa indemnity letter harus ditandatangani di awal. “Perusahaan asuransi juga harus mengatur secara jelas hak dan kewajiban dari masing-masing pihak, termasuk pengecualian-pengecualian cairnya klaim sejak awal,” imbuhnya. Tak hanya itu, prinsip kehati-hatian dalam proses underwriting dan seleksi juga penting.
Selain yang dipaparkan Alwesiu, rentannya surety bond terhadap sengketa disebabkan tidak ada ketentuan yang mengatur bentuk penjaminan tersebut secara rinci. Hal itu diungkapkan A. Aris Swantoro, pembicara dalam Intensive Legal Short Course tentang surety bondyang digelar Pusat Pengembangan Hukum dan Bisnis Indonesia (PPHBI).
Hanya ada Keputusan Menteri Keuangan yang menjadi dasar hukum produk penjaminan ini yaitu PMK RI No761/KMK.013/1992. “Itu pun lebih banyak mengatur soal bank garansi dibandingkan dengan surety bond,” ujarnya.
Pada dasarnya, penjaminan apapun bentuknya tentu berasaskan kepercayaan. Tapi seperti yang dikatakan Alwesius, percaya saja tidak cukup, diperlukan kehati-hatian sehingga tidak ada celah bagi datangnya sengketa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel