Konsep kapitalisme diajarkan sejak semester 1, yaitu PLC product life cycle. Ada masa bayi, masa pertumbuhan hingga mature dan menurun. Philip Kotler mengajarkan begitu. Oleh karena itu semua orang kaya juga begitu. Semua tunduk pada hukum PLC.
Orang bilang Coca-cola meningkatkan consumption per kapita. Di Amerika consumption per capita 400 gelas per penduduk per tahun. Itu sebab, mereka meningkatkan target dari Amerika dan Eropa yang mencapai 10% market, sekaligus menggenjot target ke seluruh dunia yang menguasai 90% market. Ternyata tahun ini omzet mereka tidak lagi hanya berpaku pada Coca-cola. Coba lihat lemari es Coca-cola di Indonesia, isinya Ades, Fresh Tea, Fanta, Pulpy Orange, dll.
Jadi kapitalisme itu seperti balon. Ada yang membesar, membesar, dan terus membesar. Namun sesungguhnya, Anda tidak bisa selamanya mengharapkan membesar.
Coba bereksperimen. Anda membeli sepasang hamster. Anda pelihara hingga beranak 4. Anda terus perhatikan ketika anaknya membesar, akan ada yang berebut makanan. Anak terkecil, yang pertama digigit kakak-kakaknya. Akhirnya semua anak-anak digigit orang tuanya.
Dahulu, misalnya ada orang membeli rumah seharga Rp 400 juta. Lalu harga naik dari Rp 1,5 juta menjadi Rp3 juta. Rumahnya dijual naik dua kali, kemudian membeli rumah lagi seharga Rp 1,4 miliar. Harganya naik lagi, harga tanahnya menjadi Rp 8 juta. Rumahnya dijual dengan kenaikan harga mencapai dua kali lipat.
Pertanyaannya, bila kebetulan ada uang Rp5 miliar, berapa harga rumah yang akan dia beli?
Pertanyaan ini klasik. Sebanyak 80% orang akan membeli beberapa rumah untuk leverage spekulasi. Ada orang yang menyicil 12 rumah hingga harus menunggak cicilan. Ya begitulah sifat uang. Kita tidak menyangka bahwa terjadi pertumbuhan, terus membesar dan membesar.
Uang itu adalah leverage. Kalau uang Anda ditanam untuk jual beli mobil bekas. Uang Anda yang Rp1 miliar dalam setahun menjadi Rp2 miliar. Berapa uang yang akan Anda tanam pada tahun berikutnya? Besar kemungkinan Anda masukkan uang Rp5 milIar. Karena Ada lihat sendiri mobil Rp1 milIar laku seperti kacang goreng. Anda lihat kacang gorengnya itu. Sementara, ketika tahun 2015 subsidi BBM dicabut, maka tidak ada lagi kacang goreng. “Mobil kok Rp 1 milIar, berapa bahan bakar harus saya tanggung? Memang nenekmu punya SPBU?”
Nah jelas sudah kenikmatan uang itu seperti balon. Naik terus menerus. Anda juga paham batas atmosfer hanya 12 km. Setelah itu ada ruang hampa udara, semuanya meledak. Apakah semua akan meledak? Tidak, jika diatur sedemikian rupa.
Dalam hal bisnis itu bisa kita gambarkan: generasi pertama memproduksi sabun. Generasi kedua memproduksi makanan. mie instan, kecap, soft drink, dan kopi. Anda pikir bagus? Ya memang very good. Berbeda cerita bila yang diproduksi hanya sabun, dan terus ditingkatkan kapasitasnya.
What next?
Mungkin Anda berpikir bisnis seperti diaspora, ada beberapa kelompok bisnis dipecah atau dibelah, seperti biji-biji pohon yang jatuh diterpa angin. Ternyata tidak. Bank hanya melihat satu corporation, entah itu sebesar Rp100 miliar yang imut-imut, atau sampai sebesar Rp 17 triliun, tetap dilihat dalam satu corporation. Sampai membesar menjadi Rp 200 trilyun tetap itu perusahaan keluarga. Managernya tetap keluarga. Entah keluarga itu seperti seukuran negara kecil, tetap perusahaan keluarga. Manajemen keluarga.
Nah sekarang Anda bayangkan ke mana jadinya?
Seperti, hamster yang berada dalam satu gedung, lalu semuanya menjadi manajer, padahal meraka bersaudara. Bagaimana perasaaan anak cucu keponakan yang berjumlah 200 orang? Seperti apa perasaan Anda berkumpul, bergaul, dan membangun manajemen sekaligus bersaudara. Apakah Anda menggunakan sistem senioritas atau syitem kompetensi, sistem merit. Atau Darwin Survival to the fittest system?
Kapitalisme di Era Informasi
Dulu tahun 2000-an saat saya bekerja di perusahaan IT, sudah diramalkan, kelak di kemudian hari orang bisa menonton TV langsung online, atau download dari situs Hollywood. Membayar ticket melalui hand phone. Membeli belanjaan dari billboard di stasiun MRT.
Sekarang, 15 tahun kemudian orang masih kagok melewati era internet. Coba lihat. Omzet iPhone terbesar bukan dari penjualan gadzet tapi dari download lagu, film, dan belanja baik games, Amazon, dan belanja online.
Anak saya sendiri pakai iPad. Pertama kali membeli diminta Apple account ID. Lengkap dengan nama, alamat, dan nomor kartu kredit orang tua.
Coba perhatikan, mengapa saat ini orang lebih suka belanja di supermarket? Karena bebas, tinggal ambil saja. Gratis (tapi nanti bayar di kasir). Jadi ada perasaan ease of shopping, atau dibuat nyaman saat shopping. Bebas memilih.
Kembali ke soal era IT, anak-anak mendownload games. Buku-buku juga di-download bebas. Mirip belanja, tinggal ambil seperti di supermarket.
Ini bisa dicontoh. Misalnya ketika masuk Grand Hyatt bebas telepon, pesan room service, bebas diner, bebas beli minuman di lounge bebas. Pesan ruangan business club juga bebas. Masuk financial club di penthouse pun bebas. Tinggal gesek kartu kredit yang sudah diserahkan di resepsionis.
Mengapa tidak ditarik cash setiap kali pesan minuman di kolam renang? Sebab, yang diutamakan perasaan ease of shopping. Pelanggan dibuat nyaman saat shopping.
Sekarang Anda bisa masuk ke Google, ada Google account ID. Anda bisa berlangganan custom pin Blackberry otomatis dengan membayar Rp22,000 tiap bulan. Siapa mau menghitung biaya download games, buku, custom pin bb? Semuanya otomatis, auto debit dari kartu kredit.
Indonesia sudah menjadi sorotan dunia international dalam beberapa hal negatif. Entah kenapa masyarakat Indonesia jarang melihat keunggulan positif yang sesungguh banyak sekali. Mungkin pengaruh media yang menganggap bad news is good news.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang paling tolerance. Dibandingkan di negara lain seperti Brasil, Meksiko atau bahkan Mesir, Iran, Morocco, negara Indonesia adalah zamrud khatulistiwa. Mark Zuckerberg jauh-jauh datang ke Borobudur. Dia heran, sebenarnya sebelum benua Amerika ditemukan Columbus, Sriwijaya sudah membangun candi. Mark Zuckerberg sendiri heran dan kagum.
Indonesia adalah darling internet. Pengguna twitter di Eropa bertanya, “Who is Haji Lulung?
Why do everybody want to save Haji Lulung?
Trending topics di twitter dikuasai oleh masyarakat Indonesia. Kata-kata vocabulary baru muncul. Blusukan. What is blusukan? Tanya Mark Zuckeberg.
Internet dan software literacy atau melek internet cukup tinggi di Indonesia. Coba bandingkan dengan Singapore. Di Singapore mayoritas software developer adalah lulusan universitas Indonesia. Website design, corporate profile online, online shopping, semuanya dikerjakan oleh lulusan Indonesia.
Di Singapore mau beli iPod saja harus membayar jutaan rupiah untuk mendownload lagu. Karyawan hanya diberi laptop yang isinya Word dan Excel. Di Indonesia semuanya, all in termasuk power point, mahasiswa Indonesia juga bisa mengedit lay out buku setiap hari. Di Singapore hanya level manager yang mendapat power point.
Pasukan internet Indonesia ini belum digerakkan. Bila di India ada Bollywood dan di Nigeria ada Nollywood di Indonesia ada Bandung silicon valley. UNIKOM Bandung berkali-kali memenangkan kontes international bidang internet.
Bila investors seperti Founder Facebook atau founder Twitter tahu, lebih baik mereka menantang lulusan Indonesia mendevelop neo whatsapp, neo snapchat. Sebab orang-orang di Bandung silicon valley tahu caranya.
Indonesia mungkin ketinggalan dalam agro industri dibandingkan dengan Spanyol dan Brazil. Indonesia mungkin ketinggalan dalam industry revolution. Namun Indonesia bisa melompat langsung menuju masyarakat Internet revolution. Coba investors ala Mark Zuckerberg diyakinkan membuat join venture dengan konglomerat lokal membuat IPO software baru. Ayo lawan twitter. Bikin twitter ala Bandung.
Burung pipit Rakyat Indonesia merajai pangsa pasar Blackberry. Merajai pangsa twitter. Facebook me-launching internet.org layanan internet gratis dan pengguna Facebook, yang sekarang lebih banyak Android. Ini semua happening di Indonesia
Berita terhangat saat ini adalah founder Facebook menikahi gadis Indonesia dan mereka tinggal di Singapore. Co founder Facebook Eduardo Saverin yang saat ini berdomisli di Singapura mengatakan dalam waktu dekat akan melangsungkan pernikahannya di Perancis.
Pria asal Brazil berusia 33 tahun ini, menurut The Straits Times akan menikah dengan tunangannya wanita berkewarganegaraan Indonesia bernam Elaine Andrieajanssen (31).
Pasangan ini yang menggelar pesta pertunangannya di Mulia Resort Bali sekitar satu bulan lalu.
Dengan kekayaannya 5 billions dollar, maka bisa menjadi kesempatan besar bagi Indonesia untuk menggerakkan lulusan universitas Indonesia membangun start up di Singapore.
Penulis:
Goenardjoadi Goenawan
Penulis 10 buku buku manajemen
Trainer dan konsultan mengenai membuka paradigma baru tentang uang
goenardjoadi @ gmail.com
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel