Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah perusahaan pembiayaan jenis konvensional pesimistis aturan penurunan uang muka minimal dapat mengerek pembiayaan kendaraan baru di semester II/2015.
Hafid Hadeli, Direktur Marketing PT Adira Dinamika Multifinance Tbk. (Adira Finance), memperkirakan menurunnya daya beli masyarakat sepanjang semester I/2015 tidak akan terlalu berpengaruh terhadap pembiayaan kendaraan baru.
“Kalau pertumbuhan ekonomi bagus, daya beli pasti akan meningkat namun sekarang sedang rendah, sehingga DP [down payment] diturunkan kami prediksi akan tetap sulit,” katanya seperti dikutip Bisnis.com, Kamis (9/7/2015).
Pasalnya, dia mengatakan mayoritas pembiayaan mobil yang diberikan kepada nasabah Adira Finance merupakan segmen menengah ke bawah yang mengalami dampak kondisi ekonomi saat ini.
Apalagi, selisih penurunan DP pembiayaan konvensional yang diatur dalam SE Nomor 19/SEOJK.5/2015 tersebut hanya 5% dibandingkan dengan aturan sebelumnya.
Dalam aturan baru, multifinance dengan rasio pembiayaan bermasalah dibawah 5%, dapat memberikan DP minimum sebesar 15% dari harga jual untuk motor dan 20% untuk mobil.
Niko Kurniawan, Deputy Direktur Head of Retail Car PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk. menambahkan penurunan DP tidak terlalu berpengaruh terhadap permintaan mengingat sejumlah agen tunggal pemegang merek (APTM) telah memberikan banyak diskon dan memangkas harga jual sejak awal tahun ini.
“Ada yang beli satu mobil dapat mobil kedua. Mungkin penurunan DP ini akan membantu, tapi tidak banyak karena APTM telah memangkas besar-besaran juga dari awal,” ujarnya.
Sampai semester I/2015, Adira Finance baru membukukan pembiayaan baru Rp15 triliun dari target tahun ini sebesar Rp35 triliun. Dari jumlah itu, pembiayaan motor masih berkontribusi sebesar 57,3% atau Rp8,6 triliun sedangkan mobil 42,7% atau Rp6,4 triliun.
Harryjanto Lasmana, Direktur Utama PT Mandala Multifinance Tbk. (Mandala Finance) mengatakan pihaknya tidak memiliki ekspektasi tinggi bahwa permintaan akan melonjak pada semester II ini.
Pihaknya lebih mengutamakan risiko yang ditimbulkan dari beleid itu karena berpotensi mengerek rasio non performing financing apabila pihaknya tidak melakukan seleksi secara ketat.
“Kami harus memikirkan tingkat resiko, tidak serta merta menaikkan pembiayaan saja. Risikonya akan kembali ke kami sendiri,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel