Pemerintah Tetap Berambisi Kuasai Aset TPPI

Bisnis.com,24 Agt 2015, 19:07 WIB
Penulis: Lavinda
TPPI Tuban

Bisnis.com, JAKARTA—Pemerintah akan berupaya mengambil kembali seluruh aset PT Trans Pacific Petrochemical Indotama melalui pemberian mandat kepada PT Pertamina (Persero) sebagai pengelola.

Hal itu disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla usai menggelar rapat terkait TPPI di Kantor Wakil Presiden, Kamis malam (20/8/2015). Hadir dalam rapat tersebut antara lain Menteri BUMN Rini Soemarno, Kapolri Badrodin Haiti, dan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro.

Kalla mengatakan pemerintah tidak akan menerima permohonan investor untuk menguasai saham TPPI dan akan terus mempertahankan kepemilikannya. Nantinya, pengelolaan TPPI akan diserahkan kepada Pertamina.

Menurut Kalla, alasan pemerintah akan tetap mempertahankan kepemilikan TPPI ialah adanya kebutuhan industri tersebut untuk menambah kapasitas dalam negeri.

“Tidak akan diterima, tetap di tangan pemerintah. Pertamina sanggup, karena pemerintah sudah punya saham 60%. Jadi tidak ada persoalan,”ujarnya di Kantor Wakil Presiden, Kamis(20/8/2015).

Pernyataan itu disampaikan menanggapi adanya pengajuan proposal pembelian saham oleh PT Medco Energi Internasional Tbk. kepada Kementerian Keuangan. Dalam proposal tersebut, Medco bertindak sebagai investor yang ingin mengakuisisi TPPI.

Untuk diketahui, perusahaan penyedia kondensat itu tersangkut persoalan tindak korupsi. Sejak awal Pertamina bekerja sama dengan TPPI dengan asas saling membantu. Kedua pihak perusahaan menyepakati sebuah kontrak dagang, namun di tengah jalan TPPI tak mematuhi perjanjian tersebut.

Sampai akhirnya, Direktorat Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menemukan sejumlah dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan TPPI, BP Migas, dan Kementerian ESDM.

Antara lain, adanya penunjukan langsung TPPI oleh BP Migas untuk menjual kondensat, dan pelanggaran TPPI terhadap kebijakan wakil presiden untuk menjual kondensat ke Pertamina.

Penyidik memperkirakan kerugian negara akibat dugaan korupsi tersebut bisa mencapai US$139 juta atau sekitar hampir Rp2 triliun. Dalam kesempatan berbeda, Jusuf Kalla menilai kasus tersebut bukan tindak pidana, namun pelanggaran perdata atas pelanggaran perjanjian antara kedua perusahaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Bastanul Siregar
Terkini