Pro-Kontra Presiden Panglima Tertinggi Angkatan Perang

Bisnis.com,27 Agt 2015, 09:30 WIB
Penulis: Newswire
Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR RI Setya Novanto menghadiri gladi bersih upacara peringatan hari Proklamasi Kemerdekaan Reoublik Indonesia di Istana Merdeka, Sabtu (15/8/2015)./JIBI-Akhirul Anwar

Kabar24.com, JAKARTA-- Penggunaan Istilah Panglima tertinggi angkatan perang pada Presiden di Indonesia dibahas dalam seminat yang digelar Institut Peradaban di Jakarta.

Bahasan jadi menarik, karena pembicaranya dari jajaran Purnawirawan TNI.
Dalam diskusi ini salah satu pembicara menyatakan adanya pelanggaran konstitusi, jika istilah Panglima tertinggi angkatan perang digunakan pada Presiden.

“Jika istilah Panglima tertinggi angkatan perang digunakan pada Presiden hal tersebut menurut saya melanggar konstitusi,” kata Letjen TNI Purnawirawan Sayidiman Suryahadiprojo yang menjadi salah satu Pembicara di acara Seminar yang diadakan di Universitas Paramadina Rabu (26/8/2015).

Kecenderungan Presiden menggunakan istilah Panglima tertinggi angkatan perang RI dimulai dari era kepemimpinan Presiden Soekarno. Dulu Soekarno sering memakai seragam TNI dalam pertemuan- pertemuan diplomasinya dengan negara lain, dan sering menyebut dirinya adalah Panglima tertinggi, padahal beliau sendiri tidak pernah mengenyam pendidikan militer.

Sayidiman mengatakan, jika Soekarno menambahkan atribut TNI dan memakai seragam TNI hanya ingin menambah kegagahannya. Akan tetatpi,  tanpa memakai atribut TNI pun Soekarno berhasil menjalankan fungsi politik dan militer secara lancar. Kesalahan ini terkadang juga dilanjutkan oleh Presiden periode berikutnya.

Menurut Sayidiman tidak ada istilah Panglima tertinggi angkatan perang RI di dalam UUD 1945 dari yang belum diamandemen sampai yang sudah di amandemen.

Wewenang Penuh

Tetapi, menurut Pasal 10 UUD 195 Presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Hal ini membuktikan jika Presiden mempunyai wewenang penuh terhadap TNI baik administratif maupun operasional.

Presiden, kata Sayidiman, tidak perlu menyebut dirinya sebagai Panglima tertinggi angkatan perang. Hal tersebut tidak sesuai dengan konstitusi dan dapat mengaburkan hubungan sipil dan TNI.

 Presiden merupakan jabatan politik atau sipil, sehingga secara tidak langsung TNI berada di bawah kekuasaan. Maka, dari itu Presiden tidak perlu memakai jabatan militer lagi dalam mengendalikan TNI.

Dapat saja tindakan Presiden dengan tetap menyebut dirinya Panglima tertinggi angkatan perang itu diartikan bahwa organisasi militer tidak berada di bawah kekuasaan politik atau sipil.

“Sebaiknya dihentikan saja Presiden yang menyebut dirinya menjadi Panglima tertinggi angkatan perang, karena dapat mengaburkan hubungan sipil dan militer,” kata Sayidiman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Nancy Junita
Terkini