UU PERKEBUNAN: Petani Ini Desak Hentikan Pengalihan Status Atas Hak Lahan

Bisnis.com,01 Sep 2015, 16:37 WIB
Penulis: Anugerah Perkasa
Petani di Bekasi mengalami kekeringan dan menyebabkan kerugian hingga Rp3 juta per hektare./Ilustrasi-Muhamad Hilman

Bisnis.com, JAKARTA --Tiga petani mendesak pemerintah menghentikan pengalihan status atas hak terhadap lahan secara sepihak menjadi area perkebunan skala besar dengan mengajukan permohonan uji materill UU No.39/2014 tentang Perkebunan.

Tiga petani itu adalah Muhammad Nur dari Kabupaten Aceh Tamiang, AJ Dahlan (Kabupaten Tasikmalaya) dan Theresia Yes (Kabupaten Ketapang). Dalam permohonannya, ketiganya mengatakan UU Perkebunan cenderung memfasilitasi dan memberik kemudahan pada perkebunan skala besar.

Pasal-pasal yang akan diujikan ke Mahkamah Konstitusi adalah Pasal 11 ayat (2) terkait dengan perubahan status kawasan hutan negara atau tanah terlantar; Pasal 12 ayat (1) terkait dengan penyerahan tanah dan imbalan bagi masyarakat adat; Pasal 55 huruf (a), (c) dan (d) terkait dengan larangan pendudukan lahan perkebunan; serta Pasal 107 huruf (a), (c) dan (d) soal larangan memungut hasil perkebunan.

"UU Perkebunan cenderung memfasilitasi dan memberi kemudahan pada perkebunan-perkebunan skala besar, yang berakibat konflik perkebunan di berbagai wilayah Indonesia," demikian perwakilan para petani dalam keterangan resminya, Selasa (1/9/2015). "Di satu sisi, proteksi terhadap hak-hak petani dan masyarakat lokal minim dilakukan Pemerintah."

Enam organisasi sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Rakyat Pekebun, yang menjadi penasihat hukum ketiga petani itu, menyatakan pemerintah daerah seringkali diduga menyalahgunakan kewenangan secara mudah kepada pemilik perusahaan perkebunan. Dengan dilakukannya eksplorasi lahan perkebunan, demikian koalisi itu, seringkali menimbulkan konflik antara perusahaan dengan masyarakat.

Andi Muttaqien dari Public Interest Lawyer Network menyatakan potensi konflik semakin masif karena UU Perkebunan menempatkan posisi masyarakat adat dalam posisi yang lemah dalam musyawarah. Menurutnya, musyawarah dalam hal ini hanyalah untuk urusan perolehan imbalan.

"Musyawarah hanya untuk memperoleh imbalan, yang berarti memberi atas kerja seseorang. Ini berarti menempatkan posisi masyarakat adat tidak setara dengan si pemberi imbalan," kata Andi dalam keterangannya.

Andi juga menuturkan sanksi pidana dalam UU Perkebunan juga disalahgunakan untuk mengkriminalkan masyarakat adat atau masyarakat sekitar perkebunan. Padahal, lanjutnya, tindakan itu dilakukan karena perusahaan perkebunan diduga melanggar hak petani.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Hendri Tri Widi Asworo
Terkini