Bisnis.com, JAKARTA - Industri perbankan syariah di Tanah Air kini seperti mendapatkan siraman hidayah setelah pemerintah dengan lugas menyatakan dukungan dengan menjadikannya sebagai salah satu poin Paket Kebijakan Ekonomi V.
Sejumlah insentif dan relaksasi aturan pun disiapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Beberapa di antaranya yaitu menyederhanakan mekanisme perizinan dan pelaporan produk-produk perbankan syariah. Berbekal buku kodifikasi produk-produk, bank syariah tidak perlu lagi mengirimkan surat untuk meminta izin kepada OJK.
Kemudian terkait perluasan jaringan, bank syariah dapat menggunakan kantor cabang induk usaha dengan bentuk pelayanan syariah.
Skema ini telah lama diberikan sejak pengawasan perbankan masih di pihak Bank Indonesia. Namun, saat itu bank syariah perlu melakukan pembukaan satu kantor cabang terlebih dahulu di wilayah kerja BI atau di provinsi tertuju.
Dengan aturan baru, bank syariah bisa membuka cabang di keenam kantor regional OJK yaitu Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Makasar, dan kemudian kantor layanan bisa menyebar ke kota di sekitar kantor regional tersebut. Namun, pelayanan syariah di kantor cabang induk usaha hanya bisa melayani penghimpunan dana pihak ketiga.
“Kita ingin memberikan ruangan yang lebih besar, terutama karena dalam satu tahun terakhir ini, sama dengan industri keuangan lain, perbankan syariah dihadapkan oleh tantangan yang tidak kecil,” kata Muliaman Darmansyah Hadad, Ketua Dewan Komisioner OJK.
Ibaratnya bermain sepakbola, kini bola berada di pihak bank-bank syariah. Momentum dukungan pemerintah seharusnya bisa menjadi motivasi tersendiri untuk berkembang mandiri.
Selama ini, banyak pemangku kepentingan menilai selama ini industri perbankan syariah di Indonesia dibiarkan berjuang sendiri dalam mengembangkan bisnis, sehingga sebagian besar dana masih bersumber dari nasabah ritel, terutama nasabah yang mencari keuntungan nisbah bagi hasil deposito yang masih tinggi.
Peran perbankan syariah memang saat ini masih relatif kecil. Berdasarkan statistik perbankan Indonesia (SPI) yang dikeluarkan OJK per Agustus 2015, aset bank umum tercatat senilai Rp6.010,75 triliun. Sementara aset aset bank umum syariah dan unit usaha syariah senilai Rp273,49 triliun atau 4,6% dibandingkan dengan total aset bank umum.
Dinno Indiano, Presiden Direktur PT Bank BNI Syariah menilai aset perbankan syariah dapat melonjak hingga 10% dibandingkan dengan aset industri perbankan konvensional jika pemerintah menempatkan sebagian dana APBN di bank syariah.
Selain menambah likuiditas, penempatan dana pemerintah di bank syariah juga diharapkan mampu menambah porsi dana murah yang hingga Juni 2015 baru mencapai Rp86,45 triliun, atau sekitar 40,14% dari total dana yang dihimpun senilai Rp215,34 triliun.
Menurut Dinno, penempatan dana APBN dan APBD di bank syariah dapat mengacu kepada skema penempatan dana haji yakni deposito dengan imbal hasil sesuai dengan batas maksimal yang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS Rate).
Penempatan dana dari pemerintah, menurut Dinno, lebih efisien jika dibandingkan dengan pinjaman dana dari luar negeri melalui fasilitas yang disediakan oleh lembaga perbankan asing.
Sumber-sumber pendanaan baru diperlukan sebagai bahan bakar untuk menyalurkan pembiayaan.
Hingga semester pertama tahun ini, rasio pendanaan dibandingkan dengan pembiayaan (finance to deposit ratio/FDR) bank umum syariah dan unit usaha syariah tercatat sebesar 96,52%, lebih rendah dibandingkan dengan posisi FDR pada periode sama tahun lalu yang mencapai 100,80%.
“Kapabilitas selalu dipertanyakan. Kalau dilihat FDR lebih dari 95%, itu artinya mampu menyalurkan. Darah industri perbankan syariah ada di funding,” kata Dinno.
Di sisi lain, optimisme bankir-bankir syariah juga menghadapi tantangan-tantangan klasik seperti persoalan kolektibilitas yang membuat rasio pembiayaan bermasalah kembali menjadi topik utama.
Rasio non-performing financing (NPF) secara industri mencapai 4,73% atau nyaris mendekati level aman 5%. Hal itu tak lepas dari kesulitan yang dihadapi bank-bank syariah besar dalam mengelola dan merestrukturisasi pembiayaan bermasalah mereka.
Dampaknya, mayoritas bank-bank syariah membukukan kinerja profit yang tertekan karena harus menyediakan pencadangan yang besar.
Di sisi lain, sosialiasi perbankan syariah juga perlu terus ditingkatkan. Sejauh ini, sosialisasi seakan-akan hanya mengandalkan peran regulator ataupun otoritas seperti Bank Indonesia dan OJK.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan bank sentral secara konsisten berupaya menggandeng berbagai lembaga, termasuk pemerintah pusat dan daerah untuk bersama-sama meningkatkan literasi masyarakat mengenai perbankan syariah.
Salah satu yang dilakukan BI tahun ini adalah menyelenggarakan Islamic Syaria Economi Festival (ISEF), sebuah festival tahunan yang diselenggarakan untuk memperkenalkan industri keuangan syariah sekaligus meng-update perkembangan industri ini.
“Selama ini pengembangan perbankan syariah bersifat bottom up, berasal dari inisiatif masyarakat. Sekarang ingin dikombinasikan secara top down,” katanya.
BI juga meluncurkan buku Perjalanan Perbankan Syariah di Indonesia, yang disusun oleh tim penulis dari Departemen Riset Kebanksentralan BI.
Buku tersebut membahas sejarah perkembangan perbankan syariah di Indonesia yang dimulai pada periode 1970-1980-an sebagai masa awal munculnya wacana mengenai sistem perbankan syariah.
Penerbitan buku ini akan dilanjutkan dengan buku seri berikutnya, yang lebih fokus membahas mengenai dinamika produk dan kelembagaan perbankan syariah.
Faktor klasik lainnya yang harus dibenahi adalah kualitas sumber daya manusia. Bank-bank syariah mungkin harus kerja keras merekrut SDM yang mumpuni, bukan sekadar menerima limpahan dari bank konvensional ataupun induk usahanya.
Saat ini, kualitas bankir-bankir syariah seperti hanya menjadi bayang-bayang bankir konvensional. Padahal, mereka memiliki tugas dan fungsi yang sama yaitu mencetak cuan bagi banknya.
Berpikir out of the box, tanpa terlalu mengandalkan potensi umat Islam di Tanah Air, mungkin akan menjadi kunci bagi bank-bank syariah memanfaatkan momentum insentif regulasi pemerintah, agar dapat lebih berkembang.
Kinerja Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (Rp Miliar)
Keterangan | Juni 2015 | Juni 2014 |
DPK | 215.339 | 191.470 |
Pembiayaan | 203.894 | 193.136 |
Laba tahun berjalan | 1.210 | 1.386 |
Indikator Kinerja Industri Perbankan Syariah (%)
Keterangan | Juni 2015 | Juni 2014 |
NPF | 4,73 | 3,90 |
CAR | 14,09 | 16,21 |
ROA | 0,89 | 1,12 |
ROE | 7,98 | 7,32 |
FDR | 96,52 | 100,80 |
BOPO | 94,22 | 91,50 |
Sumber: Statistik Perbankan Syariah, OJK.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel