RPP E-Commerce akan Tindaklanjuti Pembukaan DNI

Bisnis.com,06 Nov 2015, 04:27 WIB
Penulis: Muhammad Avisena
Ilustrasi/Themetrader

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah akan melakukan sinkronisasi pembukaan e-commerce dari dafar negatif investasi (DNI) terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah e-commerce.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Srie Agustina mengatakan draft Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) e-commerce telah selesai dibahas dengan seluruh stakeholder terkait. Tetapi dengan dibukanya e-commerce dari DNI maka akan ada tindaklanjut berikutnya.

“Karena dalam DNI Perpres No.39/2014 itu barang kiriman itu melalui pos maupun elektronik itu tertutup untuk asing. Padahal sebelumnya beberapa teman yang bergerak di e-commerce baik marketplace atau platform itu membutuhkan pembiayaan, ini sedang kita bahas,” kata Srie di Jakarta, Kamis (5/11/2015).

Saat ini, kendati draft RPP tersebut telah selesai, Srie mengatakan, pihaknya masih ingin lebih mendalami dengan mendengarkan masukan dari pihak manapun. Sehingga pada saat diluncurkan regulasi tersebut dapat diterima dan bisa diimplementasikan.

Adapun, terhadap penghapusan dari DNI, Kemendag mengharapkan pembukaan investasi asing tidak sampai 100%. Meskipun demikian, menurutnya para pelaku usaha mungkin mempunyai pendapat yang berbeda.

“Mereka yang labih tahun bagaimana mereka ingin mengembangkan usahanya, kita hanya memfasilitasi dari pemerintah. Jadi draft daripada RPP tersebut tidak terlalu banyak mengatur hanya mengelompokkan, siapa saja penyelenggara itu.”

Pengelompokan tersebut yaitu penyelenggara sebagai marketplace yang menyediakan media untuk melakukan perdagangan secara online. Dan kedua adalah merchant, yaitu pedagang yang memiliki produk untuk diperdagangkan di marketplace. Pengaturan lainnya adalahbagaimana sistem pembayaran dan pengirimannya.

Di sisi lain, merchant juga harus mengikuti ketentuan perdagangan offline, seperti label berbahasa Indonesia, SNI wajib, dan aturan-aturan lainnya. Menurutnya, perdagangan secara online dan offline hanya berbeda dari polanya saja.

“Pemerintah harus tau siapa yang berdagang di online itu. Maka harus diregister melalui online. Tidak ada perizinan dan lainnya. Registrasi akan melindungi konsumen. Sementara jika terjadi dispute, ada pilihan untuk menyelesaikan sengketa, apakah melalui offline atau tetap online. Ada inisiasi untuk dispute secara online.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Martin Sihombing
Terkini