Bisnis.com, JAKARTA--Otoritas moneter menyiratkan posisi kebijakan bias ketat masih akan dipertahankan pada tahun depan, di tengah proses transformasi perekonomian nasional.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo menyampaikan penjagaan stabilitas makroekonomi dan penguatan stabilitas sistem keuangan masih akan menjadi arah kebijakan otoritas BI tahun depan di tengah proses transformasi ekonomi berbasis konsumsi menjadi produksi.
"Upaya menjaga stabilitas ekonomi tersebut perlu digarisbawahi karena menjadi pra-kondisi bagi upaya kita memperkuat ketahanan dan meningkatkan daya saing perekonomian, terlebih pada era integrasi ekonomi yang semakin kuat," ungkapnya dalam pertemuan tahunan Bank Indonesia 2015, Selasa (24/11/2015).
Menurutnya, otoritas akan secara konsisten dan berhati-hati menempuh kebijakan moneter karena stance policy diarahkan agar kegiatan ekonomi dapat bergerak sepadan dengan kapasitas perekonomian Indonesia dan tidak menimbulkan tekanan pada peningkatan inflasi dan defisit transaksi berjalan.
Saat ini, tekanan pada tingkat inflasi dan defisit transaksi berjalan memang sudah mulai menurun. Namun, sambungnya, dengan kondisi itu masih tetap dibutuhkan kewaspadaan tinggi terhadap kondisi eksternal termasuk instabilitas global karena dipantik rencana kenaikan suku bunga Amerika Serikat.
Masih besarnya komposisi dana asing yang rentan berbalik arah, jelas dia, kebijakan moneter perlu ditempuh secara hati-hati dan terukur. Salahnya strategi kebijakan yang diambil, tegasnya, berpotensi meningkatkan kembali tekanan pada stabilisasi yang pada gilirannya memperlemah momentum pertumbuhan ekonomi.
Mantan Menteri Keuangan ini berujar perekonomian global tahun depan masih akan dihadapkan dengan ketidakpastian yang tinggi, bahkan ada potensi menjadi semakin kompleks. Ketidakpastian tidak hanya bersumber dari risiko yang telah diidentifikasi (known-unknown), tapi juga berasal dari sesuatu yang belum terpikirkan sebelumnya (unknown-unknown).
Setidaknya, ada tiga risiko utama yang perlu diantisipasi dan disikapi, pertama, prospek pertumbuhan ekonomi global 2016. Walau diperkirakan membaik menjadi 3,5%, masih ada risiko proyeksi itu masih lebih rendah. Risiko koreksi akan terjadi terutama apabila pemulihan ekonomi China dan negara berkembang lainnya tidak sesuai harapan.
Proses rebalancing ekonomi China dari perekonomian berbasis investasi ke konsumsi akan memakan waktu yang cukup lama sejalan dengan perkembangan demografi yang tengah memasuki aging population. Kondisi ini membawa risiko masuknya era new normal ekonomi China di kisaran 6,5%-7%.
Kedua, penurunan harga komoditas diperkirakan masih akan berlanjut pada 2016 sejalan dengan berakhirnya super-cycle harga komoditas. Ketiga, dampak global yang dapat ditimbulkan oleh proses normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat, baik dari sisi timing maupun besaran perubahan Fed Funds Rate (FFR).
Selain ketiga risiko tersebut, Agus mengatakan Indonesia harus terus mencermati dinamika global lainnya, termasuk konstelasi kebijakan ekonomi yang menjurus pada upaya meningkatkan daya saing melalui mata uang (currency war).
Makroprudensial
Semakin tingginya ketidakpastian global, ujarnya, membuat pengembangan instrumen lindung nilai (hedging) di pasar valuta asing juga sangat mendesak. Apalagi, peran instrumen ini semakin signifikan dalam membantu pelaku pasar mengelola risiko nilai tukar.
Untuk meningkatkan resiliensi pasar, BI juga akan melanjutkan program kerja untuk mendorong agar pasar valuta asing (forex market) dan pasar uang (money market) di Indonesia lebih likuid serta mampu tercipta pembentukan harga yang lebih efisien.
Dari sisi kebijakan makroprudensial, akan ada penegasan fungsi, tugas, dan kewenangan BI dalam stabilitas sistem keuangan melalui penguatan kewenangan makroprudensial. Saat ini, pengaturannya terdapat dalam UU Otoritas Jasa Keuangan. Nantinya perlu diakomodasi dan dipertegas sebagai tugas pokok BI dalam amandemen UU BI.
Bank Indonesia bersama OJK dan pemerintah juga akan mendorong pertumbuhan kredit dan dana pihak ketiga yang merata di daerah melalui peningkatan fungsi intermediasi dengan memfasilitasi pemberian kredit ke sektor-sektor ekonomi produktif yang memiliki nilai tambah signifikan terhadap perekonomian nasional. Tahun depan, BI memperkirakan pertumbuhan kredit di kisaran 12%-14% yang ditopang DPK 13%-15%.
Senior Economic Analyst Kenta Institute Eric Alexander Sugandi menilai paparan Gubernur BI tersebut memang menyiratkan stance bias ketat. Kalaupun BI Rate bisa diturunkan dari posisi 7,5% saat ini, penurunannya pun akan bertahap dan tidak agresif.
Imbasnya, dalam jangka pendek memang pertumbuhan ekonomi tidak bisa naik drastis. Angka 5%-5,3% sebenarnya masih bisa dicapai dengan catatan konsumsi rumah tangga tetap kuat dan ada peningkatan investasi.
Terkait dengan currency war, Indonesia memang tidak bisa mengikutinya terlebih banyak produk ekspor Tanah Air masih menggunakan komponen dan barang modal impor cukup tinggi.
Dengan adanya transformasi ekonomi ke supply side, pemerintah berharap pada kapasitas produksi yang akan bertambah. Proses transformasi ini, lanjut Eric, membutuhkan waktu lama dan tidak langsung tercermin dalam angka pertumbuhan ekonomi jangka pendek.
"Beda dengan arah demand side yang bisa meningkatkan pertumbuhan konsumsi dan pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek," ujarnya.
Sementara itu, ekonom Indef Eko Listyanto mengungkapkan seharusnya BI sudah bisa memperkirakan dan mengukur ketahanan dari sisi domestik, terutama dari sisi kebijakan moneter, untuk menghadapi recana kenaikan suku bunga the Fed.
Menurutnya, harga yang harus dibayar untuk kebijakan moneter ketat yakni masih akan tertahannya pertumbuhan ekonomi, terutama dari sisi riil. Kinerja sektor siil yang melempem saat ini, lanjut dia, seharusnya menjadi momentum pemberian stimulus moneter lewat penurunan BI Rate.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel