Bisnis.com, PADANG - Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Sumatra Barat menargetkan pertumbuhan kredit berkisar 17,5% tahun ini, dengan memprioritaskan penyaluran ke sektor perdagangan yang masih menunjukan geliat untuk tumbuh.
Sekretaris Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Sumbar Yerismal meyakini kinerja tahun ini bakal lebih baik, menyusul kebijakan pemulihan ekonomi dan optimisme meningkatnya belanja rumah tangga.
“Tahun lalu, tidak hanya BPR, bank umum pun mengalami tekanan hebat. Nah, untuk sekarang kami lebih optimis, target pertumbuhan di kisaran 15%-17,5%,” katanya kepada Bisnis, Selasa (2/2/2016).
Dia mengatakan sektor perdagangan dalam bentuk usaha mikro dan kecil, ataupun toko kelontong menjadi prioritas penyaluran kredit, terutama di daerah pedesaan yang jauh dari akses bank umum.
Selain itu, 99 unit BPR daerah itu juga membidik sektor pertanian, dan jasa untuk mengejar target pertumbuhan. Meski begitu, porsi pembiayaan untuk kredit perkebunan dikurangi karena harga komoditas di pasaran yang tidak kunjung membaik.
“Perkebunan, khususnya karet dan sawit memang dikurangi dulu. Kasihan, harga tidak juga pulih, akan berpotensi meningkatkan kredit macet,” ujarnya.
Menurutnya, sebagian besar BPR di daerah itu beroperasi di kota-kota tingkat kecamatan yang potensial untuk menggarap pasar-pasar tradisional, sehingga diyakini tetap mampu meningkatkan pertumbuhan.
Indra Yuheri, Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Perwakilan Sumbar mengakui tekanan terhadap BPR di daerah itu sangat besar. Selain karena keterbatasan modal, BPR juga sulit bersaing dengan bank umum untuk menyalurkan kredit dan menghimpun dana.
“Memang susah, tetapi sebetulnya peluang BPR untuk tumbuh masih besar, karena mereka punya pasar yang tidak bisa dijangkau bank umum. Tinggal bagaimana mengelolanya dengan baik,” katanya.
Indra mengungkapkan, OJK menerapkan program recycling atau penataan kembali manajemen seluruh BPR yang ada di daerah itu.
Adapun, program itu meliputi, refreshment atau penyegaran kembali tenaga funding officer (FO) BPR, pendidikan untuk internal control BPR, evaluasi menyeluruh per semester, dan meningkatkan kembali peran Apex bank.
Jika program tersebut berjalan, Indra meyakini kinerja BPR bakal lebih optimal. Sebab, kegagalan BPR di daerah itu selama ini disebabkan minimnya tenaga profesional dan pengelolaan bank yang dilakukan ala kadarnya.
Apalagi, sebagian besar BPR yang ada di Sumbar memiliki modal kecil, karena pembentukan bank rakyat itu sendiri berawal dari lumbung piti nagari (LPN) – lembaga keuangan di desa/nagari – yang modalnya sangat terbatas.
Menurutnya, upaya penyelamatan BPR dengan cara penguatan modal dan merger sulit dilakukan di Sumbar. Sebab, untuk modal pemegang saham kesulitan memberikan suntikan dana karena dimiliki kelompok masyarakat.
Sepanjang tahun lalu, kinerja BPR daerah itu mencatatkan pertumbuhan aset 6,98% menjadi Rp1,5 triliun. Kinerja kredit tumbuh melambat 2,85% menjadi Rp1,17 triliun, dan pengimpunan dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 14,45% menjadi Rp1,17 triliun.
Sementara itu, rasio kredit bermasalah atau (nonperforming loan/NPL) BPR mencapai 11%, dan rasio kecukupan modal bank atau (capital adequacy ratio/CAR) berkisar 17%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel