Kebijakan Energi Belum Dorong Industri Tekstil

Bisnis.com,18 Feb 2016, 22:51 WIB
Penulis: Nindya Aldila
Perkembangan ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia (dalam juta dolar AS, data per Januari 2016) / Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA - Beberapa isi paket kebijakan ekonomi yang mengatur tarif listrik dan harga gas dinilai belum memberi efek signifikan bagi industri pertekstilan.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat mengatakan tarif energi listrik sudah memberi kelonggaran bagi pelaku usaha untuk melakukan cicilan 10 bulan, bahkan saat ini masih mendapat perpanjangan waktu, tapi kebijakan ini berbeda interpretasi dengan keinginan pelaku usaha, karena potongan harga 30% berlaku pada jam yang tidak produktif, yaitu pukul 23:00 hingga 09:00.

Dia menceritakan Vietnam memiliki hampir dua kali lipat nilai ekspor dari Indonesia ke Uni Eropa, yaitu US$26,2 miliar dibandingkan dengan US$12,7 miliar dari Indonesia.

“Vietnam kan termasuk less development country (LDC), jadi generalized system of preference (GSP)-nya besar. Apalagi tarif listrik di Vietnam 6 sen/kwh, sementara di Indonesia 11 sen/kwh,: ujarnya di Jakarta pada Kamis (18/2).

Penurunan harga gas dinilainya sebagai langkah yang sudah baik, tapi belum mencukupi. Industri dalam negeri masih harus membayar harga yang lebih mahal dari Singapura dan Korea Selatan dari gas yang diproduksi Indonesia. Namun, sayangnya hingga saat ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum bisa memberi kepastian terkait penurunan harga gas.

“Ini agak sulit karena kebiasaan perusahaan berbeda-beda dan ini nampaknya perlu penegasan kembali. Pemerintah sebaiknya melakukan monitoring baik eksekutornya BUMN atau kementerian teknis,” katanya.

Di kesempatan yang berbeda, Dirjen Ketahanan dan Pengembangan Industri Internasional Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan fluktuasi kondisi energi pendukung mesin tekstil sangat memengaruhi kondisi industri.

“Selama 5 tahun kita banyak defisit. Kita harus meningkatkan keseimbangan dengan meningkatkan daya saing, hanya itu caranya. Input daya saing harus rendah, listrik harus rendah, logistik, gas, ini kan kaitannya dengan petrolium. Kita se-Asean paling mahal,” ujarnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: M. Syahran W. Lubis
Terkini