Bisnis.com, JAKARTA - Polemik haram atau tidaknya penyelenggaraan BPJS Kesehatan sempat mengemuka tahun lalu. Pemicunya, hasil ijtima ulama Majelis Ulama Indonesia di Tegal, Jawa Tengah, menyatakan sebagian ketentuan dari BPJS tidak sesuai dengan prinsip syariah.
Kegaduhan itu akhirnya reda setelah MUI, BPJS Kesehatan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Dewan Jaminan Sosial Nasional bertemu. Seluruh pihak sepaham tidak ada kata ‘haram’ dalam ijtima itu, sedangkan keputusan dan rekomendasi dibahas lebih lanjut untuk penyempurnaan program BPJS Kesehatan.
Kondisi itu juga menjadi preseden bagi OJK untuk merealisasikan hadirnya pilihan layanan berbasis syariah pada setiap jasa keuangan. Pasalnya, belum semua layanan jasa keuangan, khususnya di industri keuangan non-bank (IKNB) menjalankan prinsip syariah.
Saat ini sudah tersedia layanan jasa perasuransian, pembiayaan, modal ventura, penjaminan, dan lembaga jasa keuangan khusus dengan prinsip Islam, sedangkan penyelenggaraan dana pensiun (dapen) belum mengadopsinya.
Namun sayangnya, sebagian kalangan menilai instrumen investasi syariah yang dapat menampung dana dapen syariah sejauh ini belum mencukupi.
OJK sendiri berharap dapat meresmikan layanan jasa dapen dengan prinsip syariah, baik dana pensiun pemberi kerja (DPPK) maupun dana pensiun lembaga keuangan (DPLK) pada paruh pertama tahun ini.
“Jangan sampai seperti polemik penyelenggaraan BPJS Kesehatan tahun lalu. Karena itu, kami ingin secepatnya mendorong dana pensiun syariah,” kata Deputi Komisioner Pengawas IKNB I OJK Edy Setiadi.
Pembentukan dapen syariah sebenarnya telah tertuang dalam Roadmap IKNB Syariah 2015 – 2019 yang diterbitkan OJK pada tahun lalu. Dalam peta jalan itu terungkap adanya ruang bagi tumbuhnya pengelolaan manfaat pensiun seusai prinsip syariah dengan hadirnya Ikatan Dana Pensiun Islam Indonesia (IDPII) pada 2010. IDPII ini dibentuk oleh beberapa pelaku dapen yang pendirinya berbasis syariah.
OJK menilai keberadaan lembaga pengelolaan dana bagi masa pensiun itu telah dinantikan masyarakat, baik yang belum memiliki dapen maupun telah menjadi peserta dapen konvensional. Data OJK menunjukkan 74,8% pekerja dan 85,7% pengusaha di Indonesia manaruh minat pada dapen.
Pada 2013, DSN MUI menerbitkan fatwa No. 88/DSN-MUI/XI/2013 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Program Pensiun Berdasarkan Prinsip Syariah.
Fatwa yang dalam pembahasannya melibatkan perwakilan asosiasi industri dapen itu memuat aturan umum mengenai iuran, pengelolaan kekayaan, dan manfaat pensiun serta akad yang digunakan dalam penyelenggaraan program pensiun syariah.
“Kami akan mengacu kepada fatwa DSN MUI, bagaimana kelembagaannya, penyelenggaraannya, bagaimana iuran dan manfaat, dan lainnya,” kata Edy.
Menurutnya, otoritas meyakini realisasi dapen syariah akan menarik minat pengelola DPPK dan DPLK.
Ketua Asosiasi DPLK Nur Hasan Kur niawan menilai industri sangat menanti aturan tersebut. Pasalnya, kehadiran dapen syariah dapat menghapus keraguan calon peserta akan prinsip pengelolaan dana pensiun.
Keterbatasan instrumen investasi
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) Mudjiharno M. Sudjono juga mengungkapkan keberadaan dapen syariah memang sudah lama diwacanakan. Pengelolaan dapen dengan prinsip Islam dapat direalisasikan dengan menyesuaikan definisi iuran dan manfaat pada asuransi konvensional.
Namun, Mudjiharno mengatakan keterbatasan instrumen investasi berbasis syariah di Indonesia menjadi problem bagi keberadaan dapen syariah. Apalagi, bila potensi penyerapan peserta oleh dapen syariah sungguh terjadi.
Menurutnya, lonjakan dana kelolaan atau asset under management dapen syariah tentu membutuhkan tersedianya instrumen investasi berbasis syariah. “Apakah saham dan reksa dana syariah, serta sukuk yang ada sudah mencukupi? Saya kira belum.”
Data OJK mengenai statistik saham syariah per November 2015 menunjukkan 335 saham syariah yang berada dalam daftar efek syariah (DES). Nilai kapitalisasi Jakarta Islamic Index tercatat Rp1.678,63 triliun, sedangkan kapitalisasi Index Saham Syariah Indonesia mencapai Rp2.556,26 triliun.
Nilai market capitalization Jakarta Islamic Index dan Index Saham Syariah Indonesia masing-masing menurun dibandingkan dengan realisasi akhir 2014 (year-to-date), yaitu 13,67% dari Rp1.944,53 triliun dan 13,26% dari Rp2.946,89 triliun.
Pada periode yang sama OJK mencatat hanya ada 86 reksa dana syariah senilai Rp10, 77 triliun. Nilai itu masih sekitar 4,11% jumlah total reksa dana senilai Rp261,92 triliun per akhir November 2015.
Hingga November tahun lalu sudah 84 emisi sukuk dengan nilai total Rp15,98 triliun. Namun, hingga saat itu hanya sisa 44 sukuk dengan outstanding senilai Rp9,70 triliun.
Padahal, hingga akhir 2015 OJK juga mencatat total aset dapen konvensional mencapai Rp206,59 triliun. Nilai itu tumbuh 10,17% dibandingkan dengan realisasi akhir 2014, sebesar Rp187,52 triliun.
Sementara itu, total investasi industri dapen konvensional tercatat sebesar Rp199,06 triliun. Dari jumlah itu, 29,94% diinvestasikan pada deposito berjangka. Selain itu, mayoritas dana investasi dapen disimpan dalam instrumen obligasi korporasi (21,56%), surat berharga negara (17,88%), dan saham (13,65%).
Dengan gambaran portofolio investasi tersebut, wajar jika muncul kekhawatiran akan kurangnya instrumen untuk pengelolaan dana dapen syariah. Mudjiharno me nilai pengelolaan aset dapen di tengah terbatasnya pilihan investasi sangat berpotensi menyebabkan ki nerja yang tidak optimal dan memengaruhi imbal hasil.
Jika kondisinya masih seperti itu, katanya, dapen konvensional tetap menjadi pilihan yang jauh lebih menarik baik bagi pemberik kerja maupun peserta DPLK. Dia menegaskan problem kelangkaan itu mesti diselesaikan terlebih dahulu, sebelum mendorong kehadiran dapen berbasis syariah.
“Produk investasi syariah harus siap dulu, jangan sampai tidak siap menampung aset dapen syariah. Kalau begitu, kan tidak mungkin diinvestasikan ke produk konvensional, tidak sesuai dengan syariah, haram.”
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel