Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Bank Syariah Indonesia berharap agar Otoritas Jasa Keuangan memperbarui dan menerbitkan peraturan baru terkait industri bank pembiayaan rakyat syariah.
Ketua Kompartemen BPRS Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) Cahyo Kartiko mengatakan pembaruan dan penerbitan POJK tersebut dibutuhkan dalam rangka mengembangkan industri pembiayaan mikro syariah di Tanah Air.
"Beberapa POJK yang sebaiknya di-update dan diterbitkan, di antaranya mengenai kualitas aktiva produktif, pengaturan pasar, tingkat kesehatan, dan penerapan good corporate governance," ujarnya kepada Bisnis.com, Minggu (14/3/2016).
Beberapa waktu lalu, OJK telah menerbitkan POJK Nomor 3/POJK.03/2016 Tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang di dalamnya diatur antara lain mengenai pendirian BPRS baru, kepengurusan BPRS, pembukaan kantor cabang, dan izin usaha BPRS untuk menerbitkan kartu anjungan tunai mandiri (ATM) dan debit.
Dalam POJK tersebut juga diatur batasan minimum modal disetor untuk pendirian BPRS lebih rendah dibandingkan batasan minimum untuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Relaksasi ini bertujuan untuk mendukung pengembangan industri BPRS dan meningkatkan daya saing BPRS dengan bank-bank lain.
Modal disetor untuk mendirikan BPRS diatur paling sedikit senilai Rp12 miliar di zona 1, Rp7 miliar di zona 2, Rp5 miliar di zona 3, dan Rp3,5 miliar untuk zona 4.
Sedangkan dalam POJK Nomor 20/POJK.03/2014 tentang BPR menyebutkan modal BPR untuk zona 1 yang berada di wilayah DKI Jakarta harus menyetor modal minimal Rp14 miliar.
Untuk zona 2 atau di wilayah Jawa dan Bali, serta Kabupaten atau Kota Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi harus menyetor minimal Rp8 miliar.
Untuk pendirian BPR baru di zona 3 atau di Ibu kota Provinsi luar Jawa dan Bali harus menyetorkan modal minimal Rp6 miliar dan di zona 4 atau di wilayah lain, seperti kawasan Indonesia Timur minimal modal disetor senilai Rp4 miliar.
Lebih lanjut, Cahyo menyatakan peraturan terkait kualitas aktiva produktif dapat direvisi terlebih dahulu oleh pihak regulator.
Hal ini dikarenakan ada beberapa ketentuan yang mengatur kualitas penyaluran dana perlu disesuaikan dengan perkembangan BPRS saat ini.
"Misalnya, pada produk mudharabah dan musyarakah. Demikian juga dalam hal penetapan kolektibilitas agunan yang diambil alih dan ketentuan tentang write off pembiayaan," katanya.
Sementara itu, Statistik Perbankan Indonesia yang diterbitkan OJK menunjukkan perkembangan aset industri BPRS pada tahun lalu mencapai 17,73% dari Rp6,57 triliun menjadi Rp7,73 triliun secara year on year.
Dari sisi pembiayaan, BPRS mencatatkan pertumbuhan sebesar 15,18% dari Rp5,00 triliun menjadi Rp5,76 triliun y-o-y.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel