Bisnis.com, JAKARTA – Tidak semua data transaksi kartu kredit merupakan konsumsi nasabah itu. Oleh karena itu, data transaksi kartu kredit yang wajib diberikan oleh bank atau lembaga penyelenggara kartu kredit kepada Ditjen Pajak akan tetap diklarifikasi kepada setiap wajib pajak bersangkutan.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Mekar Satria Utama mengatakan dengan pembuktian yang dapat dibenarkan secara hukum dan logika, klarifikasi akan mampu menggambarkan konsumsi wajib pajak secara utuh.
“Misalnya, bila 80% transaksi di kartu kredit itu diakui sebagai konsumsi temannya dan itu terjadi beberapa kali, perlu penjelasan dan bukti konkrit bahwa setelah itu yang bersangkutan menerima pembayaran dari orang lain yang menggunakan kartu kreditnya,” jelasnya kepada Bisnis.com, seperti dikutip Jumat (1/4/2016).
Dengan demikian, WP yang menjadi nasabah sekaligus pemegang kartu kredit tidak dirugikan dengan perhitungan besaran konsumsi yang akan menjadi database otoritas pajak.
Seperti diketahui, sebanyak 23 bank atau lembaga penyelenggara kartu kredit wajib menyampaikan data transaksi nasabah kartu kredit kepada Dirjen Pajak tiap bulannya paling lambat mulai 31 Mei 2016.
Ketentuan itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 39/PMK.03/2016 tentang Perubahan Kelima Atas Peraturan Menteri Keuangan No. 16/PMK.03/2013 tentang Rincian Jenis Data dan Informasi Serta Tata Cara Penyampaian Data dan Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan.
Dalam aturan yang diundangkan pada 23 Maret 2016 ini disebutkan data transaksi nasabah kartu kredit itu paling sedikit memuat nama bank, nomor rekening kartu kredit, ID merchant, nama, alamat, NIK/Nomor paspor, dan NPWP pemilik kartu.
Selain itu ada juga data rincian bulan tagihan, tanggal transaksi, rincian transaksi, nilai transaksi dalam rupiah, dan pagu kredit (limit kartu kredit). Adapun data tersebut bersumber dari billing statement.
Mekar mengakui hal terpenting dalam perubahan kelima payung hukum tersebut memang terkait kewajiban perbankan untuk memberikan data transaksi kartu kredit nasabahnya secara periodik dan dalam bentuk softcopy data ke DJP.
Hal ini, lanjutnya, dimungkinkan setelah adanya surat penegasan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menyatakan data transaksi kartu kredit bukan merupakan data nasabah perbankan yang dirahasiakan berdasarkan Undang-Undang Perbankan.
“Pembahasannya sudah sejak 1,5 tahun yang lalu,” katanya.
Transaksi Nontunai
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Ronald Waas mengatakan secara aturan transaksi kartu kredit bukan menjadi kerahasiaan data sehingga tidak menyalahi aturan yang ada. Namun ketika ditanya apakah ada potensi dari masyarakat untuk mengurangi transaksi lewat kartu kredit setelah adanya kebijakan ini, pihaknya enggan berkomentar lebih lanjut.
“Saya belum berani ngomong itu karen itu lihat data. Kalau trennya sudah turun baru saya berani iyain. Saya bicara data saja,” katanya.
Dimintai tanggapan, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat ketentuan tersebut tidak masalah secara normatif karena data transaksi kartu kredit tidak termasuk yang dirahasiakan dalam Undang-Undang Perbankan.
Kendati demikian, menurutnya, jika sasaran DJP yakni source of income, harus ada pemetaan sehingga tidak untuk semua pemegang kartu kredit. Menurutnya, akan lebih efektif untuk saat ini mulai dengan pagu atau limit di atas Rp50 juta (platinum).
“Supaya tepat sasaran, sambil menunggu intekoneksi sistem IT-nya,” ujar Prastowo.
Dengan upaya penguatan program cashless transaction, kebijakan ini berpotensi kontraproduktif. Pasalnya, ada kemungkinan masyarakat menghindari transaksi nontunai.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel