Bisnis.com, JAKARTA - Tahun ini menghadirkan tantangan besar bagi industri dana pensiun, terutama dana pensiun pemberi kerja. Pasalnya, di satu sisi pengelola diwajibkan memenuhi regulasi baru, sedangkan di sisi lainnya dibebani target untuk terus memberikan hasil usaha investasi.
Pada awal tahun ini, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No.1/2016 tentang Investasi Surat Berharga Negara bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank diterbitkan. Regulasi itu secara umum mewajib kan sejumlah industri keuangan nonbank (IKNB), termasuk dana pensiun pemberi kerja (DPPK) untuk memiliki surat ber harga negara (SBN).
Hingga akhir tahun ini, DPPK wajib memiliki SBN minimal 20% dari nilai total investasi. Porsi itu mesti ditingkatkan hingga mencapai 30% pada akhir 2017. Alhasil, kebanyakan dana pensiun (dapen) mulai sibuk memenuhi ketentuan itu pada kurtal awal tahun ini.
Data OJK mengenai statistik dapen per Januari 2016 menunjukkan nilai total investasi industri mencapai Rp203,21 tri-liun atau tumbuh 10,79% (year-on-year/y-o-y). Pada periode itu, nilai invetasi DPPK Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP) tumbuh 2,75% menjadi Rp131,19 triliun, DPPK Program Pensiun Iuran Pasti (PPIP) menjadi Rp22,16 triliun, sedangkan dana pensiun lembaga keuangan (DPLK) Rp49,86 triliun atau tumbuh 39,01%.
Portofolio invetasi DPPK PPMP berubah signifikan, khususnya pada instrumen SBN yang tumbuh 14,07% ( y-o-y) dan porsinya mencapai 19,87% dari nilai total investasi. Porsi SBN pada investasi DPPK PPIP pun ber tumbuh 46,82% (y-o-y) dengan porsi mencapai 12,07%. Sebaliknya, nilai investasi instrumen deposito berjangka menurun signifikan, yakni hingga 12,94% (y-o-y) menjadi Rp24,02 triliun.
“Sebab tidak mungkin memenuhinya belakangan, Oktober hingga Desember itu tidak lagi dilakukan,” kata Ketua Umum Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) Mudjiharno M. Sudjono ke pada Bisnis.com, pekan lalu.
Menurutnya, bagi dapen besar dengan nilai kelolaan investasi jumbo, ketentutan OJK tersebut mudah untuk direalisasikan lantaran pengelola tinggal mengalihkan porsi investasinya ke SBN. Namun, bagi DPPK khusus nya PPIP, dengan nilai total aset dan investasi relatif kecil, kebijakan tersebut bakal sulit dijalankan.
ADPI telah mendata 232 ang-go tanya untuk mengetahui kemampuan dapen dalam memenuh i kewajiban POJK No.1/2016. Mudjiharno menjelaskan berdasarkan laporan yang sudah masuk dari 77 anggota, diketahui masih ada sekitar 33 dapen atau seki tar 38% pengelola dana hari tua yang baru memiliki SBN dengan kisaran 0%—5% dari nilai total investasi.
Menurutnya, baru sekitar 37% anggota yang sudah memiliki SBN dengan porsi mencapai 10%. Padahal, dapen membutuhkan alokasi dana yang besar untuk merealisasikan kepemilikan dengan batas minimum tersebut.
Sebagai pembanding, Mudjiharno mengungkapkan Dapen BRI hingga Desember 2015 baru mengalokasikan 13,77% investasinya ke SBN. “Intinya setengah mati untuk mencapai 10% bagi sejumlah dapen dengan aset kecil,” kata Mudjiharno yang juga menjabat sebagai Direktur Utama Dapen BRI ini.
Dengan kondisi itu, pengalihan alokasi investasi paling mudah dilakukan pada instrumen seperti deposito berjangka dan saham. Namun, langkah melepas kepemilikan saham juga berisiko mengingat kondisi pasar modal dinilai belum begitu kondusif.
Dapen berpotensi merugi karena melakukan cut loss atau men jual saham dengan nilai jauh lebih rendah saat membelinya.
TARGET INVESTASI
Dia mengatakan pemenuhan ke wa jiban itu semakin sulit karena pengelolaan dapen juga dibebani keharusan untuk memenuhi target investasi. Jika demikian, maka para pengelola dapen harus berpikir keras untuk mengatur portofolio investasinya. “Kami dapen [hasil usaha investasi] ditarget tinggi oleh para pendiri,” ujarnya.
Mudjiharno mengungkapkan yield atau imbal hasil SBN terus menurun dari sebelumnya masih mencapai 8,6% menjadi 7%—8% sehingga sulit untuk diharapkan sebagai penopang kinerja investasi. Pilihan lain, dapen bakal mengarahkan investasinya kepada instrumen dengan potensi imbal hasil tinggi, khususnya saham dan reksa dana.
Jadi, alih-alih menjual saham, dapen cenderung akan berspekulasi dengan menambah instrumen likuid tersebut. Namun, instrumen tersebut juga menyimpan risiko tinggi dan justru dapat menggerus pendapatan investasi dapen. Buktinya, hasil usaha investasi dapen pada Januari 2016 anjlok se bagai dampak melemahnya kinerja pasar modal pada akhir 2015.
Data OJK menunjukkan nilai hasil usaha investasi turun sebesar 67,97% ( y-o-y), dari Rp4,05 triliun pada Januari 2015 men jadi Rp1,30 triliun.
Mudjiharno menuturkan kinerja hasil usaha invetasi dapen akan sangat berdampak pada penerima manfaat pensiun pada ta hun ini, khususnya pekerja dari DPPK PPIP. Pasalnya, manfaat pensiun pada program tersebut merupakan akumulasi iuran di tambah dengan hasil pengembangannya.
“Jika salah kelola, dampaknya akan sangat terasa bagi manfaat pensiun yang diterima pensiunan pada tahun ini.” Karena itu, bagi Mudjiharno, saat ini penting bagi setiap dapen agar mulai mengkomunikasikan kondisi tersebut kepada para pendirinya sehingga target imbal hasil investasi diharapkan dapat lebih realistis.
Adapun terkait dengan kesulitan yang dihadapi dapen, ADPI tengah mendorong skema investasi guna memudahkan sejumlah pengelola dalam memenuhi ketentuan POJK No. 1/2016.
Direktur Eksekutif ADPI Bambang Sri Muljadi mengatakan skema investasi itu merupakan sebuah sarana bagi sejumlah dapen secara bersama-sama untuk membeli SBN dari pasar primer.
Dengan skema itu, para dapen itu dapat melakukan penawaran pembelian SBN pada lelang khusus. Lelang khusus SBN, katanya, mensyaratkan pembelian SBN dengan nilai minimal Rp300 miliar.
“Kami harapkan awal April nanti sudah bisa digunakan untuk sejumlah dapen,” katanya. Di samping itu, Bambang menyatakaan momen ini menjadi saat yang tepat bagi dapen untuk kembali menegakkan strategi alokasi aset.
Dia menilai selama ini tidak semua dapen memiliki strategi investasi yang jelas dengan target kebutuhan yang tepat baik untuk jangka pendek, menengah, dan panjang ()
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel