Bisnis.com, JAKARTA - BPJS Kesehatan menggunakan sistem rujukan berjenjang agar bisa beroperasi. Faskes tingkat 1 akan menjadi filter sebelum pasien di rujuk ke rumah sakit. Saat filter di buat terlalu ketat, bagaimana dampaknya?
Sudah hampir satu bulan Shahnaz Yusuf, 26, menderita penyakit aneh. Tubuhnya bisa tiba-tiba demam pada jam-jam tertentu. Nafsu makan menghilang. Saat menapakkan telapak kaki ke lantai, rasa ngilu akan menjalar. Dia juga tidak bisa tidur sembarangan. Satu-satunya posisi yang membuatnya nyaman adalah terlentang.
Sebagai peserta BPJS Kesehatan, gadis asal Medan ini berobat ke Puskesmas Tanah Abang. Dokter tidak bisa memberikan kepastian penyakit apa yang diidapnya. Dia hanya diberikan sejumlah obat yang harus dihabiskan.
Alih-alih sembuh, kondisi tubuhnya justru semakin parah. Obat dari puskesmas sudah habis diminum tetapi kondisinya tidak berubah.
“Hampir sebulan itu tidak sembuh juga. Karena khawatir saya akhirnya berobat pakai biaya sendiri ke klinik,” katanya.
Kekhawatiran Shahnaz menjadi kenyataan. Di klinik swasta tersebut dokter melakukan sejumlah tes.
Hasilnya, kadar hemoglobin (HB) miliknya hanya 8 gr/dl. Ini jauh lebih rendah ketimbang standar wanita normal yang mencapai 12-16 gr/dl.
Kendati demikian, dokter tersebut juga tidak bisa memberikan kepastian diagnosis apa yang menyebabkan penurunan kadar HB ini.
Dokter malah menyarankan Shahnaz untuk mengunjungi dokter spesialis penyakit dalam.
Berbekal hasil tes laboratorium tersebut Shahnaz kembali ke Puskesmas Tanah Abang.
Dia menceritakan apa yang dialami. Saat itu dokter tersebut memang prihatin dengan kondisinya.
“Dokternya bilang HB 8 ini memang sudah rendah,” katanya menirukan ucapan sang dokter.
Namun, saat Shahnaz meminta rujukan agar bisa menemui dokter spesiaslis dalam, dokter tersebut menolaknya.
“Kadar HB 8 ini memang sudah rendah banget tetapi menurut aturan, pasien baru bisa dirujuk jika HB sudah mencapai 7,” begitu ucapan dokter yang diingatnya.
Shahnaz pulang dengan kecewa. Shahnaz, peserta BPJS Kesehatan yang membayar premi sekitar Rp200.000 per bulan ini harus menunggu kondisinya memburuk agar bisa mendapatkan rujukan ke dokter spesialis.
Hari-hari selanjutnya berjalan lambat bagi Shahnaz. Demam masih rutin berkunjung. Nafsu makan juga tidak kunjung membaik.
Tak tahan menanggung sakit, dia memutuskan langsung menemui dokter spesialis penyakit dalam di RS Angkatan Laut Mintohardjo.
Melihat kondisinya, sang dokter langsung merekomendasikan dirinya agar menjalani rawat inap.
“Saya harus menjalani transfusi darah karena HB sudah sangat rendah,” katanya.
Shahnaz sempat menolak saran tersebut karena merasa tidak mampu membayar sendiri biaya pengobatan.
Sang dokter pun mengirimkan surat rekomendasi kepada Puskesmas Tanah Abang agar mau memberikan rujukan.
“Kalau menunggu HB saya sampai 7, dokter bilang akibatnya akan fatal,” paparnya.
Dilema Faskes I
Shahnaz beruntung karena akhirnya bisa ditangani dokter spesialis sebelum kondisinya memburuk.
Namun, tidak semua peserta BPJS beruntung seperti dirinya.
Bagaimana jika kejadian ini terjadi di pelosok daerah? Bagaimana jika dokter ngotot tidak mau memberikan rujukan sementara kondisi pasien kian memburuk? Siapa yang akan bertanggungjawab?
Menurut Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, kemunculan kasus seperti ini disebabkan oleh ketakutan tenaga medis di fasilitas kesehatan (faskes) pertama terhadap teguran BPJS Kesehatan.
Pasalnya, selama ini pihak penyelenggara justru mengeluhkan pasien di faskes tingkat II yang terlalu membeludak.
BPJS Kesehatan menuding faskes tingkat I terlalu mudah memberikan rujukan kepada pasien.
“Data 2014-2015 memang menunjukkan di Sumatra Utara dan Aceh lebih dari 50% pasien tingkat pertama diberi rujukan meskipun penyakitnya bisa ditangani di faskes I,” katanya saat dihubungi Bisnis, Kamis (21/4/2016).
Kendati demikian, Timboel juga meminta BPJS mengevaluasi setiap faskes yang justru merugikan pasien.
Pasalnya, jika sistem rujukan dibuat terlalu ketat dampaknya tidak hanya dirasakan oleh pasien tetapi juga BPJS itu sendiri.
“Kalau sudah terlambat baru dirujuk, otomatis biaya pengobatannya jadi lebih mahal kan,” paparnya.
Menurut Timboel, hal ini sebenarnya bisa dihindari jika pemerintah memberikan standarisasi yang jelas terhadap setiap tenaga medis.
Selain itu, peran komite pengendalian mutu juga harus ditingkatkan agar dokter tidak hanya mengandalkan subjektivitasnya.
Kepala Departemen Manajeman Manfaat dan Kemitraan Faskes BPJS Kesehatan Sri Mugi Rahayu mengatakan penanganan faskes merupakan kewenangan Kementerian Kesehatan.
Dalam hal ini BPJS hanya menyelenggarakan jaring pengaman kesehatan sesuai ketentuan yang berlaku.
“Kalau urusan diagnose silakan tanya ke dokternya langsung,” katanya.
Menurutnya, pemerintah sebenarnya sudah memberikan standar diagnosa yang seharusnya bisa diselesaikan di faskes tingkat 1.
Jika jangka waktu sakit atau telah terjadi komplikasi, pasien bisa meminta surat rujukan.
Mugi juga menyarankan kepada pasien agar mengajukan pemindahan faskes jika tidak puas dengan faskes tingkat satu yang sudah dipilih.
Jawaban Mugi memang tidak memberikan kepastian terkait kasus yang dialami Shahnaz.
Saat menjalani perawatan di RS Mintohardjo, Shahnaz bahkan harus menginap di kamar kelas 2 meskipun setiap bulan membayar premi untuk kelas 1.
Kita mengenal idiom ‘kesehatan mahal harganya’. Hari ini ketika kesehatan sudah ‘lebih murah’ karena sistem jaminan kesehatan nasional, haruskah pasien yang dikorbankan?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel