Bisnis.com, KEDIRI - Otoritas Jasa Keuangan menyarankan badan kredit desa (BKD) di eks-Karesidenan Kediri dan Madiun beralih menjadi lembaga keuangan mikro (LKM) mengingat tak banyak yang mampu memenuhi ketentuan BPR.
Kasubbag Perizinan, Informasi, dan Dokumentasi OJK Kediri Warsono mengemukakan tak satupun BKD di kedua ekskaresidenan memiliki modal inti sesuai ketentuan BPR, yakni minimum Rp6 miliar.
Padahal sesuai Peraturan OJK No 10/POJK.03/2016 yang mengatur pemenuhan ketentuan BPR oleh BKD, lembaga itu harus memenuhi modal inti minimum Rp6 miliar paling lambat 31 Desember 2019.
"Rata-rata modal inti BKD di eks-Karesidenan Kediri dan Madiun hanya Rp500 juta," katanya, Rabu (25/5/2016).
Adapun perubahan menjadi LKM mensyaratkan modal disetor lebih sedikit, yakni Rp50 juta untuk cakupan usaha desa/kelurahan, Rp100 juta untuk kecamatan, dan Rp500 juta untuk kabupaten/kota.
Lagipula, kata Warsono, peralihan ke LKM sekaligus jalan tengah atas tumbukan berbagai kepentingan. Kepentingan yang dimaksud a.l. keengganan mantri desa melepas kewenangan mengelola BKD. Pasalnya, jika harus memenuhi ketentuan BPR, maka harus ada susunan direksi dan dewan komisaris serta posisi modal yang perkembangannya terus diawasi OJK.
OJK mengamati likuiditas BKD di kedua ekskaresidenan cukup tinggi. Dengan posisi tabungan hanya Rp19,1 miliar per Desember 2014, BKD mampu menyalurkan kredit Rp129,3 miliar.
"Ini antara kewajiban (membayar bunga tabungan) dan haknya (menarik bunga kredit), lebih besar haknya," ungkap Warsono.
Adapun transformasi ke LKM akan memungkinkan pengawasan di bawah pemda atau pihak lain yang ditunjuk, misalnya kepala desa. OJK hanya mencermati perubahan pengurusan dan perubahan modal.
"Sebaiknya LKM saja. Semua kepentingan akan masuk di situ, baik desa, mantri, pegawai, bisa masuk di situ," tutur Warsono.
OJK merekam jumlah BKD di eks-Karesidenan Kediri dan Madiun hingga 2014 mencapai 1.246 BKD atau yang terbanyak di Tanah Air. Dari jumlah itu, jumlah BKD aktif 883 unit, sedangkan yang tidak aktif 363 unit.
Seluruh BKD itu memiliki aset Rp194,1 miliar, modal Rp149,9 miliar, dan laba Rp14,8 miliar.
OJK Kediri sebelumnya meminta BKD di kedua ekskaresidenan menyampaikan rencana tindak alias action plan pemenuhan ketentuan BPR selambat-lambatnya 31 Desember 2016.
Rencana tindak itu harus dilaksanakan paling lambat akhir 2019. Namun, apabila kesulitan memenuhi ketentuan BPR, BPD bisa menggabungkan diri ke BPR milik pemda atau melebur dengan BKD lain menjadi satu BPR.
"Dengan adanya POJK ini, BKD didorong untuk melaksanakan ketentuan BPR secara penuh dan standar akuntansi BPR," kata Kepala OJK Kediri Slamet Wibowo.
Alternatif lainnya jika tak mampu memenuhi ketentuan BPR, BKD dapat mengubah kegiatan usaha menjadi lembaga keuangan mikro (LKM) atau badan usaha milik desa (BUMDesa). Rencana tindak perubahan itu juga harus disampaikan 31 Desember 2016.
Jika tak dapat memenuhi ketentuan BPR atau tidak dapat melaksanakan action plan menjadi LKM atau BUMDesa hingga akhir 2019, maka izin BKD akan dicabut oleh OJK.
Slamet mengatakan saat ini BKD masih belum memiliki status badan hukum yang jelas, sedangkan operasional BKD sudah seperti BPR, yakni menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit. Atas dasar itulah, beleid pemenuhan ketentuan BPR dibuat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel