APKI: Pasar Industri Kertas Dalam Negeri Lebih Menjanjikan

Bisnis.com,30 Jun 2016, 00:23 WIB
Penulis: Nindya Aldila
Industri kertas/Ilustrasi-Antara

Bisnis.com, JAKARTA – Memasuki kuartal II/2016 pelaku industri pulp dan kertas lebih mengandalkan pasar domestik karena pertumbuhannya lebih tinggi yaitu mencapai 30%, ketimbang ekspor akibat harga yang anjlok di pasar global. 

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Rusli Tan mengatakan pelaku industri lebih mengandalkan pasar domestik yang mengalami pertumbuhan hingga 30%. 

“Masalahnya harga dunia sampai sekarang belum pulih karena over supply. Permintaan sangat menurun. Produksi tidak ada masalah Saya khawatir tahun depan pergerakannya lambat, kecuali domestik pakai. [Pasar domestik] naiknya hebat, sekitar 20%, mungkin bisa 30%,” katanya kepada Bisnis, Rabu (29/6/2016). 

Kenaikan tersebut didorong dari naiknya permintaan dari industri pengemasan, terutama makanan dan minuman dan bahan baku tisu. Dia menyebutkan menjelang lebaran akan mendongrak permintaan mencapai 100%. 

Adapun pasar ekspor masih stagnan karena keadaan ekonomi global yang lesu dan suplai yang berlebih membuat harga kertas di pasaran anjlok. 

Namun, stabilnya pasar domestik berdampak pada jebolnya pasar oleh produk impor. “Perusahaan luar akhirnya semua lihat pasar Indonesia karen harganya bagus. Tapi pasar domestik direbut Korea Selatan, Thailand, dan China,” ujarnya. 

Dia berharap dengan adanya aturan Tax Amnesty, dapat mengundang dana investasi yang masuk terutama untuk permesinan, apalagi dengan adanya insentif dari pemerintah sebesar 25%. 

Adapun permasalahan lainnya adalah harga gas yang masih belum kompetitif. Dia mengatakan asosiasi telah menyampaikan permintaan penurunan harga gas di sektornya sejak tiga tahun lalu. 

Peraturan Presiden No.40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi belum juga mengakomodasi permintaan industri karena sektor pulp dan kertas tidak termasuk dalam sektor yang harga gasnya bakal turun hingga US$6 per MMbtu. 

“Kami sudah minta sejak tiga tahun yang lalu karena biaya energi kami tinggi hampir 40% listriknya, maka harus diganti gas. Malah kalau bisa harga turun paling tidak US$3 MMbtu. Efisiensi produksi bisa turun 15%,” tuturnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Yusuf Waluyo Jati
Terkini