EDUKASI DUIT: Mengapa Lebih Mudah Menyesal daripada Bersyukur?

Bisnis.com,15 Sep 2016, 05:09 WIB
Penulis: Goenardjoadi Goenawan
Goenardjoadi Goenawan. / Bisnis

Jaman dulu ukuran pertarungan atau rule of the game-nya berbeda dibandingkan saat ini.  Dulu, manusia diukur bukan oleh kekayaannya, karena dulu semuanya juga miskin, tidak ada mobil, tidak ada listrik, tidak ada perusahaan, tidak ada kapitalis.

Paling-paling rakyat saling mengukur derajat status mereka. Misalnya, guru dulu sangat dihormati. Dokter dianggap dewa penolong. Kepala Polsek sudah menjadi "sheriff of town."  Di desa kecil, kehormatan diberikan kepada tokoh masyarakat, misalnya Pak Haji.

Sekarang, ukuran kehormatan tokoh masyarakat seorang dokter, kepala sekolah, tentara maupun polisi, atau jawara silat, semuanya diukur dari kekayaan.  Maka dari itu baru sekarang setelah masyarakat mengenal harta barulah merasa sakitnya tuh di sini.

Dulu, pasangan melamar gadis menikah cari tanah pekarangan bikin rumah  bambu. Sekarang ogah. Minimal rumah real estate. Akhirnya terjadi kesenjangan. Dulu mobil cuma ada Toyota, Daihatsu, Honda, Suzuki. Paling banter Timor. Sekarang ada Lamborghini, Ferrari,  Wah. Sakitnya tuh di sini.

Bagaimana caranya kita bisa menghadapi kondisi kapitalisme adu kekayaan ini?

Sifatnya kekayaan itu bukan pada jumlahnya. Dorongan hormon penyesalan lebih tinggi daripada dorongan rasa bersyukur.

Misalnya, seorang rumahnya Rp5 miliar, mobilnya Rp400 juta, tapi mereka tidak merasa kenikmatan tersebut tapi penderitaan pembantunya minta pulang.

Misalnya ada orang rumahnya Rp50 miliar, wes ewes ewes bablas semuanya, tapi dia kesal kongsinya bikin perusahaan lain dengan produk yang sama. Akhirnya mereka masuk KPPU didenda Rp11 miliar oleh pengadilan baru-baru ini.

Jadi, menghadapi kondisi kapitalisme ini jangan dipikir Anda makan soto Rp14.000, lalu kalau uang anda Rp5 miliar buat soto berapa gerobak? Tidak. No. Tidak begitu.

Seberapa pun uang Anda tetap saja kurang. Misalnya Anda punya Rp1 juta tidak cukup beli HP canggih.  Uang Anda Rp1 miliar tidak cukup beli rumah besar.  Uang Anda Rp100 miliar tidak cukup membeli hotel Grand Hyatt.  Uang Anda Rp1 triliun tidak bisa mengobati anaknya yang mungkin lahir cacat.  Atau adiknya yang buka usaha bangkrut meninggalkan utang Rp40 miliar serta utangnya dulu sebelum krismon sekarang bengkak jadi tak ternilai.

Alhasil, berapa pun jumlahnya,  manusia tidak bisa lepas dari dorongan hormon penyesalan lebih tinggi daripada dorongan rasa bersyukur.

Oleh karena itu, Anda lahir mulai dari nol tapi bukan berarti tangan kosong.  Bila Anda paham dorongan hormon penyesalan lebih tinggi daripada dorongan rasa bersyukur maka gunakan indra ke-6 anda yaitu indra rasa iba.

Setiap orang ada butuh pertolongan. Itu hukum Archimedes. Tinggal lihatlah dengan indra ke-6 Anda.  Lalu runutkan seperti kabel listrik.

Misalnya Anda disiksa mertua, sudah 25 tahun anda tak berdaya, dirunut kabel powernya menuju nenek. Nenek Anda ada butuh pertolongan. Itu hukum Archimedes. Paling Anda bermodal Rp50.000 mie goreng untuk nenek, tetapi solusi dari penderitaan Anda akan sembuh. Ini disebut relationship leverage berdasarkan mercy rahmat pertolongan Tuhan.

Setiap orang bisa Anda kendalikan dengan meminjam leverage orang lain. Setiap orang ada butuh pertolongan.  Itu hukum Archimedes. Tinggal lihatlah dengan indra ke-6 Anda. Lalu runutkan seperti kabel listrik.

Penulis
Goenardjoadi Goenawan
Konsultan dan motivator tentang paradigma baru tentang uang. Penulis 10 buku manajemen, termasuk "Rahasia Kaya, Jangan Cintai Uang", "Hidup Merupakan Pembesaran Berkah" yang baru terbit. Email: goenardjoadi @ gmail.com

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Setyardi Widodo
Terkini