Beleid Permendag Ini Picu Jumlah Importir Barang Konsumsi Melonjak

Bisnis.com,20 Sep 2016, 18:53 WIB
Penulis: Peni Widarti
Aktivitas perdagangan di pelabuhan/Bisnis.com

Bisnis.com, SURABAYA - Adanya kebijakan Permendag No. 70/2015 tentang ketentuan importir umum dinilai telah berdampak pada melonjaknya jumlah importir umum atau importir yang mendatangkan barang-barang konsumsi dari luar negeri.

Ketua Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI), Bambang Sukadi mengatakan saat ini sudah ada indikasi munculnya importir-importir baru dengan skala kecil terutama importir barang jadi atau konsumsi.

Kondisi tersebut cukup membuat pengusaha pabrikan dan importir bahan baku resah lantaran bisa berakibat pada maraknya produk asing yang masuk.

"GINSI masih mengkaji jenis-jenis barang konsumsi apa saja yang diimpor oleh para pemegang API–U (Angka Pengenal Impor–Umum) ini, " katanya, Selasa (20/9 /2016).

GINSI mencatat jumlah pengajuan API-U terus mengalami perkembangan. Pada 2014 tercatat mencapai 338 kartu. Pada 2015, jumlah pemegang kartu tersebut naik menjadi 428 kartu. Pada semester I/2016 ini pun kembali melonjak 225,6% yakni menjadi 1.067 kartu.

Permendag No.70/2015 tentang Angka Pengenal Importir telah diberlakukan pada Januari 2016. Dalam Permendag itu disebutkan pemegang Angka Pengenal Impor Umum (API-U) dapat mengimpor semua jenis barang untuk tujuan diperdagangkan di Indonesia.

"Dulu pemegang API-U hanya boleh mengimpor satu jenis barang saja, tapi sejak ada Permendag itu, sekarang importir bisa bebas mengimpor apa saja selama barang impor itu dianggap murah dan efisien serta menguntungkan, " jelasnya Bambang.

Adapun Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur mencatat nilai impor barang konsumsi di Jawa Timur pada semester I/2016 ini mengalami kenaikan sebesar 20,90% atau senilai US$1,137 miliar dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Bagi pengusaha, kata Bambang, serbuan barang impor ini nantinya bakal mengancam keberlangsungan industri, terutama di Jatim biaya produksinya sebuah pabrik tergolong cukup tinggi khususnya di wilayah Ring I yang upah minimum kota/kabupatennya tinggi yakni di atas Rp3 juta.

Kondisi itu akhirnya membuat daya saing produk dalam negeri kalah dengan produk asing yang menawarkan harga lebih murah.

"Selain kendala soal upah pekerja yang tinggi, pasokan bahan baku produksi juga terkendala karena importir lebih memilih impor barang jadi dari pada bahan baku, " imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Yusuf Waluyo Jati
Terkini