Menyikapi Nasib PRT di Indonesia

Bisnis.com,03 Okt 2016, 15:08 WIB
Penulis: Wike Dita Herlinda
Ilustrasi./.Antara-Zabur Karuru

Bisnis.com, JAKARTA- Sudah lebih dari sepekan Bu Asri dilanda kecemasan. Pekerja rumah tangganya (PRT), Atun, tidak kembali setelah izin pulang ke kampungnya di Magetan, Jawa Timur dengan alasan orang tuanya sakit.

Dalam hati, Bu Asri menduga itu adalah akal-akalan Atun untuk mengundurkan diri sebagai PRT di rumah majikannya. Di sisi lain, ibu 68 tahun yang tinggal sendiri di sebuah kompleks perumahan elite di Surabaya itu jadi sadar betapa tergantungnya dia pada PRT.

Bu Asri berpendapat selama ini dia menggaji Atun dengan cukup layak, sesuai kemampuan perempuan berusia kepala dua itu. Bagaimanapun, dia mengaku Atun sebenarnya tidak cukup terampil. Memasak tidak bisa, membersihkan rumah tidak tuntas, dan mencuci selalu lama.

Belum lagi, mantan PRT-nya itu gemar sekali chatting-an dan perhatiannya selalu terserap ke telepon genggamnya. Atun, yang sudah hampir dua tahun bekerja untuk Bu Asri, juga sering sekali pergi keluar untuk ngerumpidengan PRT tetangga-tetangga.  

“Dia orangnya memang begitu. Kebanyakan PRT sekarang begitu. Skill kurang, suka menggosip, pekerjaanenggak beres, eh tapi minta gaji besar. [Namun], Bagaimana lagi, ya terus terang saya butuh PRT, apalagi sudah tua begini dan hidup sendirian,” keluh Bu Asri.

Usut punya usut, Atun minggat dari rumah majikannya tidak lama setelah salah satu PRT tetangga kabur. PRT tetangga, yang dikenal cukup akrab karena sekampung dengan Atun, itu kabur setelah sempat ditampar dan sering dikunci di dalam kamar oleh majikannya.

“Sepertinya lalu dia curhat pada Atun. Entah apa saja yang dia katakan, tapi setelah itu sepertinya Atun ketularan panik dan takut nasib serupa menimpa dirinya. Makanya, mungkin, dia lalu memutuskan untuk pergi begitu saja,” tutur Bu Asri, menduga-duga.

Mungkin, Anda pernah mengalami kejadian serupa seperti yang terjadi pada Bu Asri; ditinggal minggat oleh PRT padahal Anda merasa telah memperlakukannya dengan baik. Di sisi lain, kekhawatiran yang dirasakan Atun sebenarnya sangat bisa dimaklumi.

Pasalnya, selama ini PRT adalah salah satu pekerjaan di Indonesia yang paling identik dengan risiko kekerasan; baik verbal, fisik, mental, maupun seksual. Praktis, saat mendengar ada PRT tetangga yang menjadi korban kekerasan, Atun merasa ikut paranoid.  

Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat sepanjang Januari—September 2016, kasus kekerasan terhadap PRT di Indonesia mencapai 217 kejadian.

Jika dijabarkan, sejumlah 41 kejadian diantaranya merupakan kasus kekerasan multijenis yang berdampak fatal pada korban, 102 kasus merupakan kekerasan fisik, dan 74 kasus merupakan kekerasan ekonomi.

Sejumlah 70% majikan ekspatriat dilaporkan tidak mengupah PRT-nya dengan layak (bahkan menunggak) dan mempekerjakan mereka secara eksploitatif.

Selain dieksploitasi, PRT di Indonesia juga kerap mengalami diskriminasi. Misalnya saja, tidak boleh duduk di kursi yang sederajat dengan majikan, tidak boleh berorganisasi, tidak boleh menggunakan lift di apartemen, hingga dikunci dari luar saat majikan pergi.

Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) Komnas Perempuan Lita Anggraini menjelaskan di tengah fenomena tersebut, hingga saat ini Indonesia ironisnya masih belum memiliki undang-undang perlindungan PRT.

Meskipun pemerintah sudah menjanjikan payung hukum untuk melindungi PRT sejak 2004, hingga kini RI belum juga mau meratifikasi Konvensi International Labor Organization (ILO)189 tenang kerja layak PRT yang disahkan pada 16 Juni 2011.

“[Untuk itu] Kami akan mendorong pengesahaan RUU perlindungan PRT. Pemerintah hendaknya tidak menutup mata terhadap kasus kekerasan pada PRT di Indoensia. DPR dan pemerintah harus segera membahas dan meratifikasi Konvensi ILO 189,” tegasnya.

Berdasarkan data ILO, PRT mendominasi 3,6% dari total pekerjaan di dunia. Terdapat sekitar 52,6 juta PRT di seluruh dunia, yang mana 83% di antaranya adalah perempuan. Sebanyak 41% PRT di dunia berada di Asia, terutama Indonesia dan Filipina.

Pada saat bersamaan, PRT tercatat sebagai salah satu jenis pekerjaan dengan kondisi kerja terburuk di dunia. Misalnya saja; 45% dari PRT tidak diberi hak libur setiap pekan, dan lebih dari 50% dibebani jam kerja yang tidak normal atau berlebihan.

Hanya 50% dari total PRT di dunia yang sudah menerima gaji sesuai upah minimum, dan lebih dari sepertiga PRT tereksklusi dari hak cuti dan manfaat untuk melahirkan. Eksklusi PRT terhadap perlindungan hukum paling banyak terjadi di Asia, termasuk Indonesia.

PRT di Indoensia merupakan pekerjaan yang rentan pelecehan dan kekerasan, karena secara tradisional mereka tidak dipandang sebagai pegawai. Mereka juga kerap mengalami diskriminasi berbasis sosial dan gender, dan bekerja di lingkungan tertutup.

Di banyak negara, termasuk Indonesia, PRT tidak memiliki perlindungan kerja dan sosial. Pasalnya, seringkali proses perekrutan PRT dilakukan melalui jalur-jalur berisiko tinggi; seperti penyelundupan imigran, ikatan tanpa kontrak, dan rekomendasi mulut ke mulut.

KONDISI INDONESIA

Di sisi lain, ILO memperkirakan ada lebih dari 2,6 juta PRT di Indonesia, yang mana 92% di antaranya adalah perempuan dan 72% dari mereka digaji tidak layak. Padahal, rerata jam kerja mereka mencapai 14—18 jam/hari tanpa libur akhir pekan.

Organisasi naungan PBB itu juga mengestimasi terdapat lebih dari 700.000 PRT di Indonesia yang masih anak-anak atau kurang dari 18 tahun, yang mana 42% di antaranya mengaku mengalami kekerasan multijenis dan tidak terlindungi karena jauh dari keluarga.

Mayoritas PRT di Indonesia tidak memiliki kontrak tertulis dengan majikan tentang deskripsi pekerjaan, upah, dan jam kerja. Mereka juga tidak dijamin perlindungan asuransi kesehatan dan kecelakaan, karena UU Ketenagakerjaan No.13/2009 tidak mengakomodasi PRT.

Deputi Direktur ILO Indonesia Michiko Miyamoto mengatakan saat ini kebutuhan akan PRT di Indonesia terus meningkat, seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Namun, agar para PRT diperlakukan secara profesional, mereka pun harus dibekali dengan kemampuan profesional.

Untuk itu, lanjutnya, ILO akan meluncurkan program pelatihan percontohan PRT di Malang, Jatim pada 4 Oktober.  Program tersertifikasi itu fokus pada peningkatan keterampilan rumah tangga, seperti mencuci dan memasak untuk keluarga.

Kurikulum pelatihan berbasis komunitas itu sendiri telah disusun ILO dengan menggunakan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) untuk PRT yang dikembangkan pemerintah pada 2015.

“Pengembangan keterampilan dan pengakuan profesi PRT memainkan peran penting dalam mempromosikan pekerjaan layak untuk mereka. Sertifikasi dapat membantu meningkatkan status PRT sebagai profesi yang diakui, sehingga pada gilirannya mereka berhak atas prospek pekerjaan yang lebih baik,” tutur Michiko pertengahan pekan ini.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Linda Teti Silitonga
Terkini