Bisnis.com, JAKARTA- Pilihan antara mengembangkan teknologi informasi (TI) dan mencegah kejahatan cyber bak buah simalakama. Dimakan mati ibu, tak dimakan mati bapak. Dilema ini tergambar dalam sebuah istilah dunia TI: Semakin canggih teknologinya, semakin lebar pula celah kejahatannya.
Perbankan adalah salah satu lini industri yang berkembang paralel dengan kemajuan teknologi. Memasuki era revolusi industri keempat alias digital industry, para bankir bak dilanda demam digital banking. Semua berlomba-lomba menggelontorkan investasi demi label digital bank.
Di satu sisi, euforia ini berdampak positif bagi bank maupun nasabah. Bank lebih efisien karena tak lagi berinvestasi di kantor cabang. Sementara nasabah tak perlu repot-repot ke kantor cabang untuk urusan remeh-temeh semisal transfer uang ke sanak famili.
Namun di sisi lain, pilihan untuk masuk di ranah digital juga membuka celah baru bagi kejahatan cyber. Salah satu kejahatan yang paling sering terjadi adalah pencurian identitas atau phising.
Secara sederhana phising didefinisikan sebagai pencurian data penting milik orang lain. Data penting tersebut seperti nama lengkap, alamat tempat tinggal, alamat surat elektronik, nomor telepon atau nomor ponsel. Bagi pelaku kejahatan, informasi tersebut adalah pintu gerbang untuk masuk lebih jauh dan membobol akun nasabah.
Maraknya kasus pembobolan rekening bank tak pelak membuat nasabah was-was dalam bertransaksi. Sebuah riset yang dilakukan MasterCard baru-baru ini menunjukkan kalau konsumen di Asia Tenggara masih sangat khawatir soal pencurian identitas. Akibatnya mereka lebih memilih metode pembayaran dengan menggunakan uang tunai dibandingkan dengan pembayaran elektronik.
Bila ini dibiarkan, tentu akan kontraproduktif dengan semangat digital banking yang salah satu unsur utamanya adalah pembayaran nirtunai. Masih dari riset yang sama, setelah ditilik lebih jauh, rupanya dari 35% konsumen yang merasa khawatir menjadi korban hanya 6% dari mereka yang benar-benar mengalaminya.
Kirby Chong, Security Chief Information Officer PT Visionet Data Internasional mengatakan sesungguhnya kejahatan cyber tak melulu disebabkan oleh faktor eksternal. Beberapa kejahatan terjadi justru terjadi karena nasabah yang tidak peduli terhadap identitas pribadinya.
"Sekalipun teknologi keamanan yang digunakan amat canggih, tapi kalau manusianya tidak terdidik dengan baik maka tetap tidak aman," katanya.
Dia menjelaskan, masih banyak nasabah yang dengan mudah ditipu oleh penjahat cyber. Contohnya, karena nasabah kurang mengerti tentang privasi data mereka dengan mudahnya memberikan informasi pernting seperti password atau PIN. Padahal data itu diminta oleh penjahat yang mengaku petugas bank.
Beberapa bank sudah berupaya memberikan sistem pengamanan terbaik dalam layanan digitalnya. Andi Kartiko Utomo, Head of E-Banking & Non Traditional Channel PT Bank QNB Indonesia Tbk. mengatakan pihaknya punya mekanisme validasi untuk memastikan kalau yang mengajukan benar-benar nasabah yang sesuai. Salah satunya dengan mencocokkan informasi yang dia miliki dan yang dia ketahui.
"Sistem kami akan mengecek. Begitu tidak sinkron mau tidak mau nasabah harus datang ke cabang untuk validasi," ujarnya.
Untuk mencegah phising, ada beberapa tindakan preventif yang bisa dilakukan nasabah. Pertama adalah memberikan informasi pribadi kepada penelepon yang tidak dikenal. Sebagaimana banyak terjadi, identitas penelepon bisa dengan mudah dipalsukan dan seringkali digunakan untuk menipu.
Kedua adalah berhati-hati saat memberikan informasi secara online. Contoh sederhana adalah foto yang dibagikan di media sosial atau usia yang didaftarkan di situs belanja online.
Selain itu adalah memastikan keaslian sebuah situs sebelum menggunakannya. Pastikan situs tersebut tersertifikasi Secure Sockets Layer (SSL). Hal tersebut bisa diidentifikasi dari simbol gembok yang muncul di samping kotak URL pada browser Anda pada saat situs tersebut loading.
Dengan mematuhi rambu-rambu tersebut, kejahatan cyber sejatinya bisa dicegah dari diri sendiri. Sebab sekalipun bank punya teknologi tercanggih untuk melindungi data nasabah, tanggungjawab atas pencurian identitas tetap berada di tangan nasabah sendiri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel