Penghiliran Rumput Laut: Insentif Lebih Baik Ketimbang Bea Keluar

Bisnis.com,11 Jan 2017, 08:38 WIB
Penulis: Sri Mas Sari
Rumput laut/boldsky.com
Bisnis.com, JAKARTA -- Pelaku usaha rumput laut menuntut pemerintah memberikan insentif untuk mendorong penghiliran di dalam negeri ketimbang mengenakan bea keluar bahan mentah. 
 
Ketua Umum Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) Safari Aziz menyebutkan insentif harus menyentuh hulu dan hilir. Di hulu, sebut dia, insentif dapat berupa bibit, tali pengikat, dan peralatan. Di hilir, insentif dapat berupa kemudahan perizinan, ketersediaan listrik dan air, serta lokasi industri yang sesuai.
 
"Kalau pemerintah menetapkan bea keluar, ini mendistorsi. Sebaiknya, beri insentif, daya tarik, agar orang mau berinvestasi di situ (industri hilir)," katanya, Selasa (10/1/2017).
 
Safari menceritakan bea keluar rumput laut diusulkan oleh beberapa pengolah rumput laut di dalam negeri dengan tarif 20%-40% dari harga. Gagasan yang sempat digodok pemerintah itu ditangguhkan oleh Rachmat Gobel yang menjabat Menteri Perdagangan selama Oktober 2014-Agustus 2015.
 
Namun hingga kini, kata dia, pembudidaya, pengumpul, eksportir, dan buyer dari luar negeri tetap was-was ide itu akan diimplementasikan sewaktu-waktu.  
 
Safari sependapat industri hilir rumput laut perlu dikembangkan di dalam negeri, terutama industri formulasi yang memberikan margin lebar. industri formulasi menghasilkan hidrokoloid a.l. berupa pengental saus, penjernih bir, pengenyal sosis, dan pelembut es krim. 
 
ARLI mengklaim total rumput laut yang diekspor dalam bentuk bahan baku dan produk olahan (yang telah dikonversi) sebanyak 236.920 ton dari total produksi nasional 1,1 juta ton (data statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan) atau 21%. 
 
Adapun share ekspor produk olahan, seperti alkali treated cottonii (ATC) dan powder, hanya 2,7% dari total pengapalan rumput laut. Dari seluruh ekspor rumput laut 2015 sebanyak 212.001 ton (US$205,5 juta), pengapalan produk olahan hanya 5.697 ton (US$45 juta). Selebihnya merupakan bahan baku, seperti cottonii, spinosum, sargassum, gelidium, dan gracilaria. 
 
Kendati secara volume, ekspor produk olahan hanya menyumbang hampir 3%, pengapalan produk itu berkontribusi hingga 22% secara nilai.
 
Di balik volume ekspor produk olahan yang kecil itu pula, pemakaian bahan bakunya cukup besar. Ekspor produk olahan yang hanya 5.697 ton membutuhkan 30.615 ton bahan baku yang diserap oleh pembuatan carrageenan in powder sebanyak 20.691 ton, caargeenan not in powder 2.428 ton, dan agar powder 7.495 ton.
 
Itu belum termasuk pemakaian bahan kimia, bahan bakar, listrik, air bersih, peralatan mesin, dan tenaga kerja. 
 
"Untuk itu, pembangunan industri yang berdaya saing serta peningkatan kualitas dan kuantitas rumput laut harus tetap menjadi perhatian," tutur Safari.
 
Dengan demikian, lanjutnya, ekspor bahan baku dan produk olahan dapat berjalan beriringan dengan menerapkan strategi dan kebijakan pengembangan rumput laut dari hulu ke hilir yang tepat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Mia Chitra Dinisari
Terkini