Bisnis.com, JAKARTA - Target pemerintah untuk menumbuhkan kepemilikan rekening di masyarakat menjadi 75% dari kondisi saat ini sebanyak 36% lewat implementasi layanan keuangan digital (LKD) belum berjalan optimal.
Implementasi LKD dinilai belum optimal lantaran terhadang sejumlah kendala. Menurut riset pendahuluan yang dilakukan Lembaga Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM UI) terkait perkembangan inklusi keuangan di daerah, setidaknya ada lima faktor yang menjadi kendala utama.
Antara lain, keterbatasan jumlah agen terutama agen LKD / nonbank, lokasi agen yang relatif dekat dengan bank dan ATM, sebagian besar pengguna LKD merupakan nasabah bank, fungsi LKD yang dominan digunakan untuk pembayaran sedangkan Laku Pandai untuk layanan keuangan dasar, serta kendala terkait ketersediaan sinyal, pendanaan dan peralatan yang tidak memadai.
Survey tersebut digelar selama Desember 2016 - Januari 2017 di kota Lhokseumawe dan Aceh Utara di Provinsi Aceh dan kabupaten Lombok Timur dan Lombok Barat di NTB dengan melibatkan 246 pemilik usaha dan 444 pengguna.
"Dari tiga indikator indeks inklusivitas keuangan Bank Indonesia yakni akses, keuangan dan kualitas, kami melihat yang paling bagus adalah aspek kualitas. Sedangkan dari sisi akses dan penggunaan, masih belum optimal," kata peneliti senior dari UI Chaikal Nuryakin di Jakarta, Selasa (28/2/2017).
Dia menjelaskan, dari total pengguna yang diwawancarai, sebanyak 90% dari pengguna LKD dan Laku Pandai telah memiliki rekening bank dan hanya 28% yang memiliki pendapatan di bawah Rp 2 juta. "Sehingga dari sisi peningkatan akses, bisa dikatakan indeks inklusinya masih rendah atau sekitar 10%-30%," tuturnya.
Dari segi penggunaan, kebanyakan nasabah LKD hanya melakukan transaksi pembayaran. Adapun layanan jasa perbankan lain seperti tabungan, transfer, kredit maupun asuransi kebanyaan dilakukan oleh nasabah di agen Laku Pandai.
Agen LKD di daerah tempat riset masih didominasi mitra dari BRI, Bank Mandiri, BNI dan BTPN. Selain jumlahnya yang masih terbatas dan persebaran agen juga belum menjangkau daerah pelosok.
"Secara nasional, distribusi agen rata-rata 60% ada di perkotaan dan 40% ada di pedesaan, Ini menguatkan penelitian LPEM UI bahwa masih banyak agen yang lokasinya berdekatan dengan ATM dan kantor-kantor cabang bank," kata Grace Retnowati, Country Manager MicroSave Indonesia, pada kesempatan yang sama,
Kondisi tersebut mengindikasikan lembaga perbankan masih memiliki limitansi untuk menjaring agen, baik dari segi sumber daya dana maupun kemampuan untuk melatih para agen sehingga hanya menunjuk agen dari kalangan nasabah sendiri.
AKSI (Aksi untuk Keuangan Insklusif) yang terdiri dari MicroSave, LPEM UI dan Inke Maris & Associates) mendorong agar pemerintah merespons keterbatasan jumlah agen tersebut dengan membuka ruang bagi institusi nonperbankan, terutama perusahaan telekomunikasi untuk dapat merekrut agen.
Pemerintah didorong meninjau kembali regulasi penunjukan agen individual untuk memperkuat sebaran dan jaringan agen layanan keuangan inklusif.
"Agen yang ada di daerah masih didominasi mitra perbankan, sementara potensi agen individual yang dapat direkrut dari agen pulsa, warung, toko dan kios jumlahnya jauh lebih banuak di pelosok," tambah Chaikal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel