Perekat Kebhinekaan: Merawat Tradisi Lokal

Bisnis.com,03 Jun 2017, 11:50 WIB
Penulis: David Eka Issetiabudi
Sejumlah seniman membawa lambang Garuda Pancasila saat Kirab Grebeg Pancasila di Blitar, Jawa Timur, Rabu (31/5)./Antara-Irfan Anshori

Kabar24.com, JAKARTA -- Belakangan topik mengenai toleransi dan kebhinekaan menjadi perbincangan hangat dalam diskusi publik maupun media sosial.

Ada anggapan, kekayaan tradisi lokal yang hadir dengan warna beragam, semakin digerogoti dan dipersempit.

Ketua Pusat Studi Kawasan Indonesia Timur (PUSKIT) Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) Argo Twikromo mengatakan keberbedaan yang ada justru terlihat dipertajam sekat-sekat perbedaannya melalui konstruksi politik identitas kelompok.

“Kebebasan berserikat dan berpendapat dalam ruang demokrasi negara ini telah disalahgunakan untuk saling membenturkan kelompok satu dengan kelompok yang lainnya berdasarkan ‘kebenaran’ nya masing-masing,” tuturnya dalam keterangan pers, Sabtu (3/6/17).

Untuk menahan gelombang negatif tersebut, menurutnya, ruang-ruang kebinekaan melalui tradisi Indonesia Timur bisa menjadi perekat untuk mengembalikan kehidupan majemuk yang harmonis.

Argo mengungkapkan, semangat untuk dapat merawat kebinakaan dapat dimunculkan lewat revitalisasi kondisi kehidupan sosial-budaya dengan merawat dan mengelola keharmonisan dalam kehidupan yang beragam dari tingkat lokal, hingga nasional.

Selain itu, revitalisasi nilai dan filosofi masyarakat dalam upaya menangkal segala bentuk manipulasi yang mempertentangkan dan menajamkan realitas perbedaan yang ada.

Sementara itu, Staf Pengajar Universitas Cendrawasih Akhmad Kadir mengatakan, belajar dari kehidupan sosial masyarakat di Papua, mereka memiliki modal budaya dalam merajut perbedaan.

Hadir lewat budaya komunal, makan bersama, agama bersaudara, satu tungku tiga batu, perkawinan di luar klan atau marga dapat menjadi perekat sosial diantara mereka.

“Walaupun sering terjadi konflik antar suku, namun komunitas-komunitas adat tersebut memiliki cara lewat mekanisme budaya, seperti makan bersama, bakar batu” dan disertai dengan pemotongan hewan kurban, sebagai penyelesaian,” ujarnya.

Selain itu, meskipun ada jarak yang memisahkan antara komunitas yang satu dengan kemunitas lainya karena perbedaan kondisi lingkungan alam dan sosial budayanya, namun demikian mereka tetap membangun relasi-relasi pertukaran antara satu komunitas dengan komunitas lainnya.

Salah satunya terlihat dari jalur perdagangan atau pertukaran tradisional. Perdagangan dengan cara barter atau pertukaran langsung masih dijumpai model pertukaran tradisional yang melandasi sistem sosial orang Papua.

“Pertukaran bukan saja pada barang, seperti ubi ditukarkan dengan garam, tetapi juga pertukaran dapat terjadi antara istri-istri dari dua kelompok,” tambahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Nancy Junita
Terkini