Masih terang dalam ingatan, ketika menghabiskan masa kecil di Rancaekek, saya masih bisa bermain air di sungai bersama teman-teman sejawat. Sering kali, kami terjun melompat dari tepian ke badan sungai.
Bagi warga setempat, sungai bagaikan sumber kehidupan. Paling tidak ada empat sungai utama, yakni Sungai Cikijing Citarik, Cibodas, dan Cijalupang, serta sejumlah anak sungai, yang mengalir mengelilingi wilayah seluas 4.670,6 ha itu. Sungai-sungai ini juga yang menjadi sumber irigasi utama areal persawahan yang mencakup lebih dari 50% luas wilayah.
Hanya beberapa tahun berselang, suasana seperti itu tinggal kenangan. Sekarang, jangan berharap menemukan keceriaan anak-anak yang bermain air atau pemancing yang bersorak mendapatkan tangkapan di badan sungai.
Kini sungai telah begitu dangkal. Bahkan di titik-titik tertentu dapat terlihat dasarnya. Yang lebih mengenaskan, airnya seperti bunglon.
Penyebabnya, pencemaran yang dilakukan secara masif dan konsisten selama bertahun-tahun. Tak heran, lahan pertanian dan persawahan yang semula produktif dan sempat menjadi lumbung padi berkualitas nomor wahid ini seperti terkebiri.
Dampak kerusakannya masif pula. Dari sekitar 2.367 ha areal sawah, sebanyak 1.215 ha telah tercemar limbah. Produktivitas menyusut 1,50 ton per hektare per musim. Kerugiannya disebut-sebut Rp3,65 miliar per tahun.
Rancaekek merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bandung, dengan jumlah penduduk 180.884 jiwa, kedua terbanyak. Dari 54.156 keluarga, 5.307 diantaranya merupakan keluarga pertanian. Namun, di Rancaekek, rakyat seperti dilupakan demi keuntungan pemilik modal.
Sebagai lanjutan rentetan siklus pascasemakin menyusutnya produksi, tidak sedikit petani menjual lahannya dengan harga miring.
Tanah-tanah yang tidak lagi dimiliki petani kemudian beralih fungsi. Ada yang menjadi areal perumahan, pertokoan atau industri.
Akibatnya, luasan lahan yang semula dapat menjadi penampung air semakin berkurang. Ditambah dengan tata sistem drainase yang buruk, banjir menjadi bencana langganan yang terjadi nyaris setiap hujan turun.
Terletak di sisi timur Cekungan Bandung, tidak jauh dari Gerbang Tol Cileunyi, dan berada pada jalur lintasan jalan negara yang menghubungkan Bandung – Garut/Tasikmalaya dan Jawa Tengah, serta berbatasan langsung dengan kawasan pendidikan Jatinangor, Rancaekek menjadi strategis. Tercatat lebih dari 90 industri berdiri di sepanjang jalur tersebut, termasuk pabrik tekstil.
Dalam waktu dekat, Pemprov Jabar akan menetapkan Rancaekek sebagai zona khusus industri. Mungkin tidak ada yang salah dengan rencana itu.
Di Jabar, sektor industri pengolahan menjadi kontributor terbesar atau 42% terhadap perekonomian. Dapat dipahami apabila pemprov berkeinginan memperbesar sektor andalan itu.
Namun, ada yang mengganjal dari rencana tersebut. Secara terencana, pemprov hendak menggeser fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi lahan industri, menyisakan hanya 25% areal. Alasannya, penetapan kawasan itu dengan memanfaatkan lahan yang sudah terlanjur tercemar.
Di sini yang saya tidak paham. Dalam dua dekade terakhir, pemerintah turut berperan menghancurkan kawasan yang pernah menjadi lumbung padi berkualitas utama ini.
Dan kini, dengan terstruktur, pemerintah hendak memperluas areal kerusakan dengan hanya menyisakan 25% areal lahan untuk persawahan? Bagaimana kabar target swasembada pangan yang digaungkan pemerintah?
Ah sudahlah. Toh keputusan ada di tangan mereka yang punya kuasa. Saya hanya berharap rencana penetapan kawasan industri itu harus betul-betul berwawasan lingkungan, berkelanjutan, dan berkeadilan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel