Bisnis.com, JAKARTA — Banyak sekali penelitian yang dilakukan untuk mencari hubungan antara uang dan kebahagiaan. Sesuai dugaan, memang seiring dengan naiknya pendapatan, tingkat kebahagiaan lebih tinggi.
Mereka yang masih harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya memiliki tingkat kebahagiaan kurang, dibandingkan dengan mereka yang memiliki pemasukan lebih tinggi. Teorinya begitu, meski tidak baku.
Paling tidak penelitian dari Betsy Stevenson dan Justin Wolfers dari University of Michigan bisa menjadi rujukan. Penelitian itu menganalisa hubungan antara kebahagiaan dan pendapatan di Amerika Serikat, mulai dari penghasilan US$10.000 hingga lebih dari US$500.000 per tahun.
Hasilnya, hanya 35% dari mereka yang memiliki penghasilan kurang dari US$10.000 per tahun menjawab sangat bahagia dengan hidupnya. Ada 55% dari mereka yang memiliki pendapatan US$50.000-75.000 per tahun menjawab sangat bahagia dengan hidupnya.
Dan mereka yang memiliki penghasilan lebih dari US$ 500.000 per tahun, semuanya (100%) menjawab sangat bahagia dengan hidupnya.
Dengan demikian, kesimpulannya uang bisa membeli kebahagiaan? Nanti dulu. Ternyata jika digali lebih dalam lagi, masih ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebahagiaan yang berkaitan dengan uang.
Di sini kita mengetahui bahwa ada hal-hal yang lebih tinggi nilainya daripada uang. Kebahagiaan tidak pasti linier dengan uang. Pertanyaannya kemudian, bagaimana peranan kita terhadap kebahagiaan golongan di atas?
Karena hidup adalah pertukaran, maka bagaimana caranya kita bertukar dengan mereka:
1. Kasih. Ya kasih karunia Tuhan itu datang dari bawah. Banyak kisah seperti cerita Cinderella yang bisa membuat seorang pangeran bahagia. Jadi bila beberapa orang gadis mengincar suami kaya itu sah saja. Karena mereka pun butuh dipuji dipuja dihargai dibutuhkan, bukan.
Bukan maksud saya kita semua jadi gold diggers tetapi ini membuka pikiran kita tentang dunia uang.
2. Waktu. Ya banyak orang menjadi kaya di saat tua dan mereka tidak punya waktu. Prosesnya mengumpulkan uang Rp200 miliar itu mungkin kembali kepada sejarah 50—60 tahun lalu. Oleh karena itu bila kita ingin mengakses kekayaan ya kita runut kembali sejauh mungkin.
Banyak di antara kita masih mencari peluang dengan mencari teman baru. Pada akhirnya rezeki itu timbul dari sejarah lama.
Ada cerita anak pertama tidak didukung modal oleh orang tua, sedangkan anak kedua dapat dukungan orang tua. Ternyata orang tuanya adil, ada sertifikat zaman dulu 30 tahun lalu yang menggunakan atas nama anak pertamanya. Akhirnya sekarang nilainya tinggi juga, artinya adil di antara anak-anaknya. Faktor waktu menjadi sumber kekayaan.
3. Empati. Ya empati rasa iba, ingin menolong merupakan akses kepada kekayaan. Karena sering golongan atas terjangkit kekurangan rasa bersyukur, sehingga mereka perlu belajar empati supaya bisa bahagia.
Banyak kisah pangeran yang belajar menghargai rasa bersyukur, seperti Horus God of Egypt, Prince of Persia, Emperor Kuzko, dll.
Jadi kita pun harus jeli banyak nilai kehidupan yang bisa menjadi akses kepada sumber kekayaan.
Penulis:
Ir Goenardjoadi Goenawan, MM
Penulis buku 'Money Intelligent' dan 'Kekuasaan itu Key Driving Force Uang'
Pertanyaan dapat dikirim melalui email : ptangsanadwitunggal@gmail.com
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel