Bisnis.com, JAKARTA – PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. memaparkan dengan semakin maraknya penggunaan uang elektronik atau non tunai, bisa juga berdampak positif bagi bank maupun nasabah.
Wakil Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia Sunarso mengatakan, untuk bank besar seperti BRI disebut tidak akan efektif dan efisien bila menyediakan uang tunai dalam jumlah besar. Alasannya, dengan cabang lebih dari 10.000 kantor, jika persediaan uang tunai yang dipersiapkan bernilai besar, sedangkan yang tidak terpakai cukup banyak berarti itu akan menambah biaya.
“Biayanya itu besar loh kalau uang tunai nganggur, kan itu diambil dari deposito dan tabungan nasabah berarti harus bayar bunga, tetapi uangnya malah menganggur saja. Selain bayar bunga, juga operasional, keamanan, dan asuransi,” ujarnya pada Senin (19/6) malam.
Sunarso mengatakan, dengan lebih efektif dan efisien menggunakan uang tunai, harapannya dana itu bisa disalurkan dalam bentuk kredit secara lebih optimal.
Dia melanjutkan, fenomena mudik pun punya cerita tersendiri terkait persediaan uang tunai. Jawa paling banyak dari sisi kebutuhan nilai uang tunai, tetapi juga lebih besar dari bagian penetrasi uang elektronik.
“Sebenarnya, paling banyak tunai itu di luar Jawa, tetapi kan penduduk di Jawa lebih banyak sehingga secara nominal lebih besar,” lanjutnya.
Sunarso menceritakan fenomena uang tunai saat mudik, banyak warga Jakarta yang akan pulang kampung mengambil uang tunai dalam jumlah besar untuk kebutuhan di kampung halaman. Namun, ketika sampai di kampung halaman, mayoritas uang itu dimasukkan lagi ke bank di kampung halamannya tersebut.
“Nah, kalau dia tarik tunai di Jakarta terus masukkin lagi uang di kampung halamannya, uang yang ada di cabang itu bisa dipakai bank untuk kebutuhan nasabah cairin kredit enggak?” tanyanya.
Dia pun menggeleng yang berarti itu tidak bisa digunakan langsung oleh bank untuk penyaluran kredit. Dana tunai yang masuk ke cabang tidak bisa menjadi likuiditas bank bila belum masuk sistem kliring.
“Belum masuk sistem kliring, ya belum jadi likuiditas. Akhirnya, kami [Bank] harus menanggung biaya keamanan, operasional, dan bunga simpanan,” ujarnya.
Suku Bunga Kredit
Semua hal itu pula pun yang membuat tingkat cost of money di Indonesia masih tinggi sehingga berpengaruh kepada suku bunga kredit yang masih tinggi, terutama di kawasan Asia Tenggara. Bila gerakan nasional non-tunai bisa semakin menyeluruh, bisa saja menurunkan cost of money sehingga mempengaruhi tingkat suku bunga kredit.
Terkait suku bunga kredit, Sunarso menjelaskan, kalau posisi saat ini cost of money dan cost handling masih cukup tinggi. Kalau dari sisi overhead cost masih bisa diupayakan secara maksimal agar bisa diturunkan. Jadi itu salah satu yang menyebabkan suku bunga kredit di Indonesia masih tinggi.
Untuk kebutuhan stimulus tambahan dari pemerintah dan regulator, Sunarso mengatakan untuk stimulus dari pemerintah cukup pasok uang ke pasar dengan jumlah yang memadai.
“Kalo duit yang dipasok ke pasar banyak, ya bisa turunkan suku bunga. Namun, kalau banyak yang narik, ya suku bunga juga bisa naik,” ujarnya.
Di sisi lain, kalau dari sisi regulator, Sunarso menyebutkan, bila memungkinkan tingkat giro wajib minimum (GWM) diturunkan lagi bisa mempengaruhi tingkat suku bunga. Itu yang diharapkan sistem perbankan karena kalau uang melimpah, pricing turun.
“Namun, kalau uangnya cekak, ya harga naik. Regulator kan bisa mengatur reserve, salah satunya GWM diturunkan itu,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel