Terpengaruh Desas-Desus, Warga di Kota Kanada Ini Tolak Pemakaman Muslim

Bisnis.com,19 Jul 2017, 10:18 WIB
Penulis: John Andhi Oktaveri
Ilustrasi : Polisi berjaga setelah terjadi penembakan di Masjid Kota Quebec, Kanada (29/1/2017)./Reuters-Mathieu Belanger

Kabar24.com, JAKARTA--Sebuah sikap yang dinilai akan menjadi masalah hak asasi terjadi di sebuah kota di Kanada.

Warga Saint-Apollinaire, sebuah kota yang berada di dekat Kota Quebec, melalui referendum dengan selisih tipis menolak pembangunan pemakaman Muslim di sebuah hutan.

Warga memutuskan untuk menolak sebuah perubahan zonasi yang dapat mengizinkan pembangunan pemakaman bagi umat Islam.

Keputusan diambil dalam sebuah referendum pada Minggu. Dalam pemilihan itu, hanya 49 orang yang memenuhi syarat untuk memilih. Hasilnya, suara yang tidak setuju menang dalam referendum tersebut dengan perolehan suara 19-16 dan satu kertas suara tidak sah.

Pembangunan pemakanan diajukan oleh Pusat Kebudayaan Islam Quebec, yang merupakan tempat tewasnya enam orang dan 19 orang terluka akibat penembakan pada Januari lalu.

"Kami tidak pernah berpikir bahwa orang dapat menolak pembangunan sebuah pemakaman. Apa yang mereka takutkan?" kata Presiden Pusat Kebudayaan Islam Quebec, Mohamed Labidi sebagaimana dikutip BBC.co.uk, Rabu (19/7/2017).

Pusat Kebudayaan Islam Quebec telah membeli sebidang tanah di area hutan dekat sebuah pemakaman, setelah peristiwa penembakan. Satu-satunya pemakaman Muslim di Quebec yaitu di Laval, harus ditempuh beberapa jam perjalanan darat dari Kota Quebec.

Keputusan penduduk kota untuk menolak pembangunan pemakaman telah menimbulkan kemarahan di kalangan Muslim dan ahli hukum hak sipil di seluruh negara itu dan mungkin akan memicu masalah hak asasi, kata Kabidi.

Wali Kota yang mendukung pembanguan pemakaman itu menyatakan khawatir keputusan tersebut akan mencederai reputasi kotanya.

"Mereka tidak mengetahui orang-orang ini, jadi mereka memutuskan berdasarkan desas-desus" kata Wali Kota Bernard Ouellet kepada Canadian Broadcasting Corporation.

Para penentang mendatangi rumah-rumah untuk mengumpulkan tanda tangan untuk menggelar referendum, karena pembangunan pemakanan akan membutuhkan sebuah perubahan zonasi.

Aturan hukum yang berlaku di provinsi tersebut mengizinkan referendum digelar untuk menentukan masalah zonasi. Hanya orang-orang yang tinggal di lokasi terdampak yang memiliki hak suara.

Artinya hanya 49 orang di kota berpenduduk 5.000 jiwa itu yang dapat memilih, dan hanya 36 orang yang memberikan suara.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Saeno
Terkini