Benarkah Elektabilitas Jokowi Rendah? Ini Survei Lengkap SMRC

Bisnis.com,09 Okt 2017, 21:47 WIB
Penulis: News Writer
Survei terbaru SMRC, bila 2 nama yang diajukan sekarang, Jokowi 57,2% dan Prabowo 31,8%/Survei SMRC

Bisnis.com, JAKARTA – Setelah tiga tahun Presiden Joko Widodo memerintah, kecenderungan dukungan politik kepada Jokowi untuk kembali menjadi presiden semakin menguat, merujuk survei SMRC 3-10 September, yang dilansir baru-baru ini.

Belum ada tokoh lain yang memiliki elektabilitas kompetitif terhadap Jokowi, bahkan Prabowo Subianto, mantan lawan Jokowi pada Pilpres 2014, yang masih paling kompetitif pun elektabilitasnya cenderung stagnan.

Kecenderungan itu merupakan kesimpulan laporan bertajuk “Kecenderungan Dukungan Politik 3 Tahun Presiden Jokowi” yang merupakan temuan Survei September 2017, yang dirilis Saiful Mujani Research Center (SMRC), 5 Oktober 2017 lalu.

Survei SMRC itu menyimpulkan, kalau calonnya hanya dua, dan lawannya yang terkuat sementara ini Prabowo, maka Jokowi kembali akan menjadi presiden bila pemilihan dilakukan saat ini. ELektabilitas Jokowi, berdasarkan pertanyaan terbuka atau jawaban spontan, mencapai 38,9%, sedangkan Prabowo hanya 12%. “Nama-nama lain di bawah 2%,” tulis laporan itu.

Sebaliknya, dalam bentuk pertanyaan semi terbuka, dukungan kepada Jokowi bahkan mencapai 45,6%, disusul Prabowo 18,7%, dan mantan Presiden SBY 3,9%. Nama-nama lain juga di bawah 2%.

“Dalam 3 tahun terakhir, bagaimanapun simulasinya, elektabilitas Jokowi cenderung naik, dan belum ada penantang cukup berarti selain Prabowo. Prabowo pun cenderung tidak mengalami kemajuan,” tulis SMRC.

 

Elektabilitas 38,9% Rendah?

Banyak pihak menyebutkan, elektabilitas Jokowi saat ini, sebesar 38,9%, dinilai rendah. Angka itu tidak cukup sebagai seorang petahana, karena seyogianya di atas 50%. Politisi Gerinda Fadli Zon adalah salah satu yang meyakini hal itu.

Fadli Zon, yang juga Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, menganggap elektabilitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) berdasarkan survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang ada di angka 38,9%, masih terbilang kecil.

Benarkah?

Menurut survei SMRC yang dipimpin Saiful Mujani tersebut, angka elektabilitas itu bisa diperbandingkan dengan Presiden SBY saat menjelang Pilpres 2009, dalam posisi 2 tahun menjelang pilpres.

Posisi Jokowi 2 tahun menjelang Pilpres 2019, menurut SMRC, justru lebih baik dari posisi SBY 2 tahun menjelang Pilpres 2009. “Dan ternyata, SBY kembali dipilih sebagai presiden,” begitu tulis laporan tersebut.

Pada 2007, elektabilitas SBY bahkan hanya 27%, dan memperoleh suara hampir 61% saat Pilpres 2009.

“Kalau melihat kecenderungan tersebut, dan tidak muncul masalah besar ke depan, secara teoritis Jokowi bisa melewati Pilpres 2019 secara lebih baik dari yang dijalani SBY.”

Jokowi dinilai memiliki modal dukungan rakyat lebih besar pada periode yang sama saat SBY menjadi petahana.

Menilik sejarah, dua tahun menjelang Pilpres 2009, Pesiden SBY menaikkan harga BBM yang berdampak elektoral negatif cukup dalam. Namun kemudian dengan program-programnya, SBY dapat melewati masalah tersebut hingga memenangkan pilpres 2009.

Pada periode 2 tahun menjelang Pilpres 2019, Jokowi tidak menghadapi masalah tersebut. Karena itu, SMRC yakin apabila tidak ada masalah serius hingga hari H Pilpres 2019, peluang Jokowi terpilih lagi kemungkinan lebih baik dibanding peluang SBY menjelang pilpres 2009 lalu.

“Dukungan yang semakin besar pada Jokowi sebagai petahana tak bisa dipisahkan dari persepsi rakyat terhadap kinerjanya sebagai presiden.”

“Rakyat umumnya menilai kondisi berbagai sektor kehidupan makin membaik. Ini kunci untuk seorang petahana bisa bertahan,” tulis SMRC.

Namun, dukungan terhadap Jokowi akan melemah ke depan apabila kinerjanya dinilai rakyat memburuk.

 

Kepuasan Publik Stabil, Lebih Tinggi dari SBY

Mengapa dukungan kepada Jokowi untuk dipilih kembali cenderung menguat?

Menurut SMRC, sejak pertengahan 2016, kepuasan atas kinerja presiden Jokowi selalu di atas 60%, dan cenderung stabil. Kalau dibandingkan dengan SBY 2 tahun menjelang Pilpres 2009, kepuasan atas kinerja Jokowi juga lebih tinggi.

Kepuasan kepada kinerja Presiden SBY pada September-Oktober 2006 sebesar 67% dan September 2007 turun menjadi 58%. Sebaliknya, kepuasan kepada Presiden Jokowi pada 2016 sebesar 69%, dan September 2017 sebesar 68%, relatif lebih stabil.

“Modal politik Presiden Jokowi 2 tahun menjelang pilpres 2019 lebih baik dibanding yang dimiliki Presiden SBY 2 tahun menjelang pilpres 2009,” tulis lembaga itu.

Survei SMRC juga menemukan kepuasan atas kinerja Presiden Jokowi yang secara umum cenderung menguat tersebut konsisten dengan penilaian atas kondisi ekonomi dan penanggulangan berbagai masalah penting oleh pemerintah, yang cenderung semakin positif.

Penilaian warga terhadap kondisi ekonomi rumah tangga dan nasional pada September 2017 lalu dinilai positif, di mana yang menyatakan kondisi ekonomi lebih baik dibandingkan tahun lalu lebih banyak dari yang menyatakan lebih buruk. “Warga umumnya optimis dengan ekonomi rumah tangga dan nasional ke depan,” tulis SMRC.

Selain kondisi ekonomi, untuk kondisi politik, penegakan hukum, dan keadaan keamanan dan ketertiban, warga yang menilai positif lebih besar dari yang menilai sebaliknya, dan dalam 3 tahun terakhir kecenderungannya semakin positif.

Secara keseluruhan, pada survei September, SMRC menyebutkan sudah tidak ada lagi sektor pembangunan, di mana warga menilai kerja pemerintah “semakin buruk” lebih banyak dibandingkan warga yang menilai “semakin baik”.

Kerja pemerintah Jokowi yang dinilai paling mengalami kemajuan adalah pembangunan jalan-jalan umum, sarana transportasi umum, pelayanan kesehatan di puskesmas/rumah sakit terjangkau, dan menekan rasa terancam dari teroris.

Selanjutnya, membangun jalan trans/lintas antar provinsi di luar Pulau Jawa, membangun jalan tol di luar Pulau Jawa, menjamin kesetaraan hak-hak warga negara apapun latar belakang suku, agama, ras, maupun daerahnya.

“Mayoritas warga menilai kerja pemerintah dalam masalah-masalah tersebut semakin baik dibanding tahun lalu,” tulis SMRC.

Kerja pemerintah juga dinilai mengalami kemajuan dalam membuat obatan-obatan terjangkau, mengurangi ancaman narkoba, membuat agar sekolah dan perguruan tinggi terjangkau oleh warga, dan membangun wilayah perbatasan.

Selanjutnya meningkatkan pemerataan kesejahteraan, menekan tingkat korupsi uang negara, mengurangi perbedaan harga barang di Indonesia bagian barat dengan bagian timur.

“Yang menilai kerja pemerintah “semakin baik” lebih banyak dibandingkan dengan yang menilai “tidak ada perubahan” atau yang menilai “lebih buruk”, tulis laporan survei SMRC itu.

Namun demikian, masih lebih banyak warga yang menilai bahwa kerja pemerintah Jokowi “tidak ada perubahan” dalam membuat harga-harga kebutuhan pokok agar terjangkau warga pada umumnya, menyediakan lapangan kerja, mengurangi jumlah orang miskin, dan mengurangi pengangguran.

Berimbas ke PDIP

Menurut SMRC, dukungan kepada Presiden Jokowi juga berimbas kepada partai politik pendukung utamanya, yakni PDIP. Efek atas penilaian positif atas kinerja presiden ini menentukan peta kekuatan partai politik.

Survei menemukan hanya PDIP yang mengalami kemajuan dukungan, yang cenderung selalu di atas hasil pemilu 2014 dalam 3 tahun terakhir.

Partai yang lain, menurut SMRC, belum terlihat peningkatan atau cenderung stagnan bahkan mengalami kemunduran bila hanya membaca angka survei (tidak dikurang atau ditambah margin of error).

 

Mengapa PDIP cenderung menguat, sementara partai lain tidak ada yang menguat? Berikut ini salah satu analisisnya:

Dibandingkan dengan partai pendukung lain, PDIP adalah partai yang lebih identik dengan Jokowi. “Karena itu, PDIP terlihat mengalami kemajuan sejak Pemilu 2014. Maka apabila Pemilu diadakan sekarang, PDIP akan mendapat suara terbanyak, dan lebih besar dari yang diperolehnya pada Pemilu 2014,” tulis SMRC.

Apa yang menjadi sebab, calon presiden atau kinerja partai?

SMRC menyebutkan ada asosiasi yang kuat antara pilihan partai dan pilihan presiden, bukan hanya antara Jokowi dan partai utamanya, PDIP, tapi juga antara Prabowo dan Gerindra, dan sejarah Megawati dan PDIP, SBY dan Demokrat.

Secara kualitatif, efek tokoh atas calon presiden tampaknya menjadi sebab bagi kenaikan atau penurunan dukungan pada partai, bukan sebaliknya.

SMRC mengilustrasikan sebagai berikut:

PDIP dan Megawati:

Partai Demokrat dan SBY:

PDIP dan Jokowi:

Metodologi Survei 

Menurut SMRC, survei yang dilakukan pada 3-10 September 2017 itu menggunakan populasi responden seluruh warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih, yakni sudah berumur 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan.

Sampel dipilih secara random (multistage random sampling) sebanyak 1.220 responden dengan response rate (responden yang dapat diwawancarai secara valid) sebanyak 1.057 responden (87%).. Margin of error rata-rata dari survei sebesar 3,1% pada tingkat kepercayaan 95%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: News Editor
Terkini