Ketidakpastian Ekonomi Bakal Tekan Pertumbuhan India

Bisnis.com,09 Okt 2017, 17:56 WIB
Penulis: Yustinus Andri DP
Warga New Delhi India mengantre mengisi air dari tanki yang disediakan pemerintah, Senin (22/2/2016)./Reuters-Anindito Mukherjee

Bisnis.com,JAKARTA — Ketidakpastian ekonomi diperkirakan bakal menekan pertumbuhan India pada tahun ini, setelah berhasil menjadi yang terbaik pada tahun lalu.

Seperti diketahui, pada tahun lalu ekonomi India berhasil tumbuh 7%. Namun demikian, prestasi itu justru anjlok pada semester I/2017 dengan hanya mencapai 5,7%. Walaupun Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan produk domestik bruto (PDB) India akan tumbuh 7,6% pada tahun ini.

Kepala Ekonomi Deutsche Bank AG di Mumbai Kaushik Das mengatakan, sejumlah kebijakan Pemerintah India justru menjadi sentimen negatif yang menekan pertumbuhan ekonomi negara ini. Presiden India Narendra Modi berpotensi menghadapi tekanan hebat dari publik, jika ekonomi negara ini akhirnya jatuh pada tahun ini.

"Ada sejumlah ketidakpastian yang mengaburkan prospek jangka pendek ekonomi India. Risiko negatif yang datang dari kesalahan kebijakan Pemerintah India tetaplah tinggi,"ujarnya, seperti dikutip dari Reuters, Senin (9/10/2017).

Kesalahan demi kesalahan yang dilakukan oleh pemerintahan yang dipimpin Modi tersebut pada akhirnya berpeluang memukul konsumsi India. Padahal, konsumsi merupakan salah satu motor utama ekonomi Negeri Bollywood yang mengandalkan populasi penduduknya yang mencapai 1,3 miliar orang.

Para pengamat melihat, salah satu penyebab terpukulnya konsumsi India berasal dari kebijakan Modi yang menarik mata uang berdenominasi besar pada November 2016. Kebijakan itu membuat 86% uang tunai menghilang dari pasar.

Pukulan lain datang dari penerapan pajak tunggal di seluruh India (GTS). Kebijakan itu menghapus aturan perpajakan dan bea masuk yang berbeda-beda di 29 negara bagian. Modi dalam hal ini menyeragamkan aturan perpajakan dan bea masuk demi meningkatkan daya tarik investor.

Namun publik India rupanya tak siap menerima kebijakan itu. Penduduk negara tersebut masih banyak yang belum terakses layanan keuangan, sehingga kebijakan cashless society justru menjadi bumerang.

Selain itu, banyak pengusaha India yang belum paham betul reformasi aturan pajak dan bea masuk yang diberlakukan Modi. Hal itu menghambat pertumbuhan bisnis perusahaan India maupun asing.

Pukulan-pukulan tersebut pada akhirnya menciptakan jurang tersendiri bagi India. Salah satunya datang dari indeks keyakinan konsumen India pada semester I/2017 yang mengalami kejatuhan. Bank Sentral India (RBI) melaporkan, 27% orang India yang disurvei menyatakan pendapatan mereka telah turun sehingga mendorong indeks tersebut ke zona pesimis.

Centre for Monitoring Indian Economy melaporkan, lebih dari 1,5 juta pekerja India telah kehilangan pekerjaan di Januari-Juni 2017. Angka pengangguran pun diperkirakan akan terus meningkat.
“Pekerjaan telah menjadi penyebab kekhawatiran terbesar yang memengaruhi keyakinan konsumen India," tulis RBI dalam laporannya.

Melambatnya pertumbuhan bisnis di India juga tercermin dari laporan Economic & Political Weekly yang diterbitkan bulan ini. Lapangan pekerjaan dari sektor manufaktur diperkirakan akan turun 30% pada tahun ini. Media massa tersebut bahkan memperkirakan, penurunan itu akan menjadi yang terdalam sejak India merdeka.

Tantangan lain pun muncul dari kredit macet yang dialami oleh sejumlah perusahaan nasional. Selain proyek pemerintah yang terselesaikan sepanjang Juli-September baru mencapai 512 miliar rupee (US$7,8 miliar). Jumlah tersebut menjadi yang terendah sejak Modi berkuasa pada 2014.

Sementara itu, pada kuartal III/2017, nilai investasi baru yang berasal dari sektor swasta juga telah turun ke level terendah dalam 15 kuartal terakhir. Di sisi lain, komitmen investasi baru juga telah anjlok ke posisi terendah dalam 13 tahun terakhir.

Potensi munculnya pukulan pada perekonomian India akan terus meningkat ketika harga minyak global terus mengalami pemulihan dan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) serta Bank Sentral Eropa (ECB) mulai mengetatkan kebijakan moneternya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Martin Sihombing
Terkini