Rupiah Tertekan Penguatan Dolar AS di Hari Kedua

Bisnis.com,18 Okt 2017, 17:17 WIB
Penulis: Renat Sofie Andriani
Ilustrasi/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA — Nilai tukar rupiah memperpanjang pelemahannya pada akhir perdagangan hari kedua berturut-turut, Rabu (18/10/2017), sejalan dengan pelemahan mayoritas mata uang di Asia.

Rupiah ditutup melemah 0,04% atau 6 poin di Rp13.513 per dolar AS, setelah dibuka dengan apresiasi 0,01% atau 1 poin di Rp13.506. Sepanjang perdagangan hari ini, rupiah bergerak di kisaran Rp13.501 – Rp13.519 per dolar AS.

Yen Jepang yang terdepresiasi 0,49% memimpin pelemahan mayoritas mata uang Asia, diikuti peso Filipina sebesar 0,25% dan dolar Singapura dengan 0,15%.

Sementara itu, berdasarkan data Bloomberg, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama terpantau menguat 0,25% atau 0,233 poin ke 93,719 pada pukul 16.43 WIB.

Sebelumnya indeks dolar dibuka di zona merah dengan penurunan hanya 0,01% atau 0,011 poin di level 93,475, setelah pada Selasa (17/10) berakhir menguat 0,19% di posisi 93,486.

Dolar AS bergerak stabil pada perdagangan hari ini, saat investor mempertimbangkan kemungkinan bahwa Presiden Donald Trump akan memilih Gubernur Federal Reserve yang lebih bersikap hawkish daripada Janet Yellen.

Seiring dengan ekspektasi kenaikan suku bunga acuan oleh The Federal Reserve di bulan Desember, pasar saat ini menunggu berita mengenai siapa yang yang akan memimpin bank sentral AS tersebut setelah masa jabatan Yellen berakhir pada Februari mendatang.

Trump memiliki lima kandidat untuk dipilih sebagai Gubernur The Fed berikutnya dan kemungkinan akan mengumumkan pilihannya sebelum mengunjungi Asia pada awal November.

"Siapa yang akan menjadi Gubernur The Fed berikutnya adalah fokus pasar yang paling penting saat ini," kata Yukio Ishizuki, analis senior di Daiwa Securities, seperti dikutip dari Reuters.

"Tapi siapa pun yang akan menjabat, The Fed akan melanjutkan normalisasi kebijakan dan menaikkan suku bunga acuan tahun depan," tambahnya.

Dolar mendapat dorongan ekstra sejak awal pekan ini setelah ekonom Stanford University, John Taylor, muncul sebagai kandidat utama.

Taylor dikenal sebagai pendukung kebijakan moneter berbasis aturan dan sesuai dengan rumusnya, yang dikenal sebagai aturan Taylor, di mana Fed Funds Rate (FFR) harus jauh lebih tinggi daripada target saat ini sebesar 1,0-1,25%. Dengan demikian, investor berspekulasi dia dapat menaikkan suku bunga lebih cepat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Fajar Sidik
Terkini