Bisnis.com, JAKARTA - Penyaluran kredit kepada proyek infrastruktur semakin menggeliat sejak 2015. Sebab hingga kini, kredit perbankan masih menjadi salah satu tumpuan utama untuk mendanai beragam proyek pembangunan di berbagai daerah.
Walaupun ada iming-iming jaminan dari pemerintah, tetapi risiko kredit infrastruktur masih cukup banyak, sehingga bank musti berhati-hati dan waspada.
Risiko utama tentu saja mismatch antara tenor pendanaan dan pembiayaan. Sumber dana bank didominasi oleh dana jangka pendek, sedangkan tenor kredit infrastruktur rata-rata panjang, bahkan ada masa grace period selama proyek yang dibiayai belum menghasilkan.
Risiko lain yang tak kalah penting adalah potensi mangkraknya proyek yang dikerjakan, sehingga akan berpengaruh kepada kemampuan debitur membayar cicilan, apalagi melunasi pinjaman.
Guna mengantisipasi risiko pertama, yakni risiko mismatch, sejak 2016 bank-bank pelat merah yang cukup banyak menyalurkan kredit kepada sektor infrastruktur mulai menerbitkan berbagai instrumen pendanaan nonkonvensional. Instrumen yang diterbitkan dari sertifikat deposito atau negotible certificate of deposit (NCD) sampai obligasi. Sumber dana dari pasar modal memiliki tenor cukup panjang sehingga diharapkan dapat menyesuaikan dengan tenor kredit.
Seiring semakin banyaknya proyek infrastruktur yang perlu mendapatkan pendanaan, para kreditur mendorong debitur proyek infrastruktur untuk menerbitkan instrumen pasar modal. Dana yang berhasil dihimpun dari instrumen pasar modal itu digunakan untuk melunasi pinjaman perbankan. Imbauan ini berlaku kepada debitur yang proyeknya sudah selesai dan menghasilkan uang.
PT Jasa Marga (Persero) Tbk. beserta anak usahanya mengawali inisiatif itu, melalui strategi penghimpunan dana dari sekuritisasi maupun penerbitan bond project guna melunasi pinjaman perbankan.
Kepala Ekonom SKHA Institute for Global Competitiveness (SIGC) Eric Sugandi mengatakan, bila dilihat dari sudut pandang bank, pelunasan kredit infrastruktur yang dilakukan debitur dengan menghimpun dana dari pasar modal memang cukup efektir meminimalkan risiko kredit pada sektor tersebut.
“Soalnya, risiko kredit menjadi dipecah-pecah kepada pembeli instrumen itu dari sekuritas. Namun, tidak serta merta risiko kredit infrastruktur menghilang begitu saja,” ujarnya kepada Bisnis pada Minggu (5/11).
Menurut Eric, walaupun risiko kredit infrastruktur hanya dipecah dan berpindah, secara keseluruhan skema seperti itu cukup positif untuk perbankan yang banyak menyalurkan kredit ke infrastruktur.
Selain itu, penghimpunan dana dari pasar modal juga membantu pendalaman pasar keuangan melalui penerbitan berbagai instrumen baru.
PASAR MODAL
Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Kartika Wirjoatmodjo menilai, upaya debitur pengelola proyek infrastruktur untuk menggalang dana dari pasar modal guna melunasi pinjaman perbankan telah sesuai dengan arahan pemerintah.
Penghimpunan dana dari pasar modal, lanjut Kartika, dapat dilakukan melalui sekuritisasi aset maupun penerbitan obligasi berbasis proyek.
“Nantinya, dana yang dihimpun dari pasar modal itu digunakan untuk me-refinancing pinjaman bank,” ujarnya.
Direktur Treasury dan Internasional PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Panji Irawan menyebutkan, dengan mulai giatnya debitur infrastruktur menghimpun dana lewat pasar modal membuat kombinasi pendanaan semakin variatif.
“Debitur punya dua pilihan, masuk ambil dana lewat bank atau obligasi. Kombinasi keduanya juga bagus, terutama untuk fondasi pasar keuangan di Indonesia,” ujarnya.
Dengan semakin beragamnya pendanaan untuk pembiayaan infrastruktur, tingkat risiko yang awalnya dibebankan hanya kepada perbankan pun kini mulai terbagi-bagi. Pada akhirnya, berbagai inovasi pendanaan itu diharapkan akan mampu meningkatkan kapasitas bank untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur yang terus meluas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel