Cadangan Devisa Dianggap Masih Kuat Mengantisipasi Risiko

Bisnis.com,09 Nov 2017, 09:15 WIB
Penulis: Dewi Aminatuz Zuhriyah
Petugas memeriksa uang di 'cash center' Plaza Mandiri, Jakarta, Senin (15/5)./Antara-Ilustrasi

Bisnis.com, SURABAYA – Kendati cadangan devisa pada Oktober menurun, namun Bank Indonesia memastikan bahwa posisi itu masih cukup kuat untuk antisipasi risiko pembalikan modal.

Hal ini menyusul laporan Bank sentral yang menujukkan bahwa posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Oktober menurun menjadi US$126,5 miliar dari sebelumnya US$129,4 miliar seiring upayanya dalam menstabilkan nilai tukar rupiah di pasar.

Deputi Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menuturkan berdasarkan indikator IMF untuk kecukupan cadangan aset di mana angka kecukupan mencapai 100%, jumlah cadangan devisa (cadev) Oktober rupanya mencapai hampir 127% terhadap elemen-elemen besarnya pembalikan modal.

“Indonesia sudah punya [angka kecukupan cadangan] 126% atau hampir 127%. Jadi, Indonesia sudah lebih dari cukup,” katanya di sela-sela acara Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) ke-4 di Surabaya, Selasa (8/11/2017).

Tak hanya itu, Perry pun menilai bahwa  cadev bulan lalu juga cukup untuk membiayai 8,6 bulan impor atau 8,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Besaran cadev itu juga berada di atas standard kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

Dalam hal ini, dia menuturkan bahwa cadev merupakan bantalan yang dikumpulkan pada saat aliran modal masuk (inflow) tinggi dan akan digunakan pada saat ada tekanan aliran modal keluar (outflow).

Bulan lalu, Bank sentral harus menggunakan cadev untuk merespons tekanan outflow.

Kata Perry, adanya pembalikan modal yang terjadi pada bulan lalu berasal dari faktor teknikal yang langsung direspons oleh investor jangka pendek.

Ada pemicu utama pendorong aliran modal keluar yakni rencana kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat.

Selanjutnya, pemilihan Gubernur bank sentral AS, The Federal Reserve dan terakhir, pengumuman Presiden AS Donald Trump terkait pemangkasan pajak yang diyakini bakal mendongkrak perekonomian AS.

Hal itu tentu mengakibatkan para investor jangka pendek langsung mengalihkan modalnya ke negara maju  termasuk AS.

Disisi lain, adanya arus modal keluar juga memicu nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.

“Jadi ya wajar, pada saat inflow tinggi, cadev naik hingga pernah mencapai level tertinggi US$129,4 miliar. Pada saat kemarin ini gonjang-ganjing global, khususnya dari Amerika Serikat yang ada pembalikan modal ya wajar [menurun] karena kami harus melakukan stabilisasi nilai tukar sehingga menggunakan cadev.”

Berdasarkan hal-hal tersebut, ke depan bank sentral  akan selalu berada di pasar untuk memantau perkembangan nilai tukar.  Bahkan, jika diperlukan, BI akan melakukan upaya stabilisasi nilai tukar untuk menjaga rupiah berada di nilai fundamentalnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Pamuji Tri Nastiti
Terkini