Bisnis.com, JAKARTA – Kenaikan peringkat surat utang Indonesia menjadi BBB/Outlook Stabil oleh lembaga pemeringkat internasional Fitch Rating dinilai mencerminkan membaiknya persepsi investor, terutama yang berinvestasi di pasar surat utang negara dan pasar modal.
“Analisis mereka terhadap pengelolaan ekonomi Indonesia direfleksikan dalam perbaikan credit rating Indonesia, jadi kalau peringkatnya BBB- itu kan investment grade, kalau BBB tanpa minus artinya ada upgrade sekali lagi,” kata Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara di Jakarta, Jumat (22/12/2017).
Dia menuturkan peringkat BBB pernah diraih Indonesia pada 1995. Namun saat krisis 1997, peringkatnya menurun menjadi BBB- dan kembali menurun setelah 1998. Dengan kata lain perlu waktu 22 tahun untuk mengembalikan peringkat tersebut.
“Kalau kita lihat statement-nya, mereka mengapresiasi bagaimana pengelolaan makro, terutama bagaimana rasio ketahanan terhadap external shock atau bagaimana pencadangan devisa kita kalau ada gejolak dari luar,” ujarnya.
Ketahanan menghadapi gejolak tersebut antara lain dinilai cukup kuat dengan posisi cadangan devisa lebih dari 8 bulan impor, atau lebih dari US$ 126 miliar per Desember 2017.
Sejalan dengan itu, pengelolaan current account defisit juga dinilai kuat dengan defisit ekspor impor barang dan jasa sekitar 2% dari PDB. Mirza juga menyebutkan faktor lainnya karena pengelolaan inflasi yang dijaga di level 3% - 3,5% dalam tiga tahun terakhir.
Kondisi balance sheet payment yang pada tahun ini diperkirakan surplus US$10 miliar juga akan menambah daya tahan jika ada eksternal shock. Mirza juga menggarisbawahi paket deregulasi dan komitmen untuk memperbaiki ease of doing business dari rangking 114 pada dua tahun lalu menjadi rangking 72.
“Semua komitmen dan pencapaian ini, baik pengelolaan moneter maupun riil yang dilakukan itu dipuji oleh credit rating,” tuturnya.
Lebih lanjut, Mirza mengharapkan perbaikan ekonomi makro dapat terus meningkat. Menurutnya, perbaikan itu juga mulai terefleksikan dari turunnya yield Surat Utang Negara ke level 6,5% untuk tenor 10 tahun.
Selain itu, swap rate juga sudah berada di kisaran 3,5% untuk tenor 1 bulan, di bawah suku bunga kebijakan Bank Indonesia saat ini 4,25%.
Ke depan, dia berharap current account defisit dapat terus diturunkan dengan cara menggenjot ekspor dan pariwisata.
Mirza menyebutkan saat ini rasio utang luar negeri terhadap penerimaan devisa RI masih berkisar 170%, lebih tinggi dibandingkan negara tetangga Thailand dan Malaysia yang di bawah 100%.
Terkait suku bunga, dia menyatakan BI akan mengambil kebijakan moneter yang prudent yang tercermin dari penurunan suku bunga sebanyak 8 kali atau turun hingga 200 basis poin (bps).
BI juga dua kali melonggarkan makroprudentsial lewat relaksasi loan to value (LTV), menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) serta mengubah formulanya dari GWM fix menjadi GWM averaging. Kebijakan tersebut berdampak pada pelonggaran likuiditas.
“Pelonggaran seperti itu dapat dilakukan hanya karena kita bisa mengendalikan kondisi makro, yakni inflasi dan current account defisit yang terjaga prudent, serta balance sheet payment yang bisa surplus di tengah Fed Fund Rate yang sudah naik 4 kali. Tahun depan, tantangannya tidak ringan, Fed rate bisa naik 3 kali,” jawabnya saat ditanya apakah masih ada ruang untuk penurunan suku bunga acuan BI.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel