Dunia dan Indonesia Memasuki Era Super Market Budaya

Bisnis.com,25 Jan 2018, 03:20 WIB
Penulis: Ilman A. Sudarwan
Peserta pawai dengan kostum karnaval mengikuti Kirab Kota dan Pawai Budaya Sail Sabang di Sabang, Aceh, Rabu (29/11)). Pawai yang melibatkan sekitar 1.200 peserta tersebut menampilkan sejumlah atraksi budaya, drum band dan kesenian. ANTARA FOTO/Zabur Karuru

Bisnis.com, JAKARTA - Masyarakat dunia termasuk Indonesia saat ini tengah berada dalam era super market budaya di mana budaya lokal harus bersaing dengan berbagai kebudayaan asing yang dengan leluasa bisa dipilih dan diapropriasi oleh siapapun.

Hal itu diungkapkan oleh Bambang Sugiharto, pengajar filsafat dan seni di Universitas Parahyangan. Dia menambahkan, salah satu faktot penyebab terjadinya hal tersebut adalah perkembangan teknologi yang luar biasa pesat dalam beberapa tahun ke belakang.

"Saya melihat banyak unsur dan variabel yg bisa mengubah kebudayaan saat ini yg paling kuat adalah teknologi bagaimana dia mengubah kebudayaan kita. Kita adalah masyarakat jejaring yg partisipatoris." katanya, Rabu (24/1/2018) dalam simposium "Pasca Orientalisme dan Masalah Apropriasi Budaya di Galeri Nasional, Jakarta.

Bambang mengatakan bahwa dampak teknologi seperti ini, membuat kebudyaaan lokal melemah dan terfragmentasi. Individu hari ini semakin diberdayakan, dia tidak lagi bergantung pada budaya lokal atau apapun.

"Ketika modernitas dipahami sebagai semakin bergayanya individu, maka dia juga sudah semakin tidak bergantung pada sistem apapun termasuk sistem budaya [lokal]," tambahnya.

Saat ini manusia telah masuk ke dalam era supermarket budaya. Menurutnya, setiap unsur kebudayaan bertebaran memasuki kebudayaan lain yang berbeda dan dimaknai secara berbeda oleh kebudayaan yang berbeda pula.

Gamelan misalnya, sebagai salah satu kebudayaan asli Indonesia saat ini juga telah banyak digunakan oleh bangsa asing dengan kebudayaan dan cara pandanganys sendiri. Masyarakat dunia bebas mengambil dan menggunakan setiap budaya, serta mengartikannya dengan cara sendiri-sendiri.

"Budaya yang sama bisa dipahami oleh generasi, genre, agama dan kelompok berbeda, dengan cara yang berbeda," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Martin Sihombing
Terkini