Penerbitan Uang Digital Bank Sentral Dinilai Realistis

Bisnis.com,03 Feb 2018, 00:27 WIB
Penulis: Dini Hariyanti
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo (tengah) bersama Gubernur Bank Negara Malaysia Muhammad bin Ibrahim (kanan) dan Gubernur Bank of Thailand Veerathai Santiprabhob (kiri) memberikan pemaparan saat peluncuran Local Currency Settlement Framework Bank Indonesia-Bank Negara Malaysia-Bank of Thailand, di Gedung Thamrin, Kompleks Bank Indonesia, Jakarta, Senin (11/12)./ANTARA-Aprillio Akbar

 

Bisnis.com, JAKARTA—Bank Indonesia memastikan bahwa penerbitan mata uang digital bank sentral merupakan sesuatu yang resmi dapat dilakukan. Kabar soal Central Bank Digital Currency (CBDC) ini mengemuka setelah pernyataan tegas berupa penolakan terhadap cryptocurrency seperti Bitcoin.

Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menuturkan mata uang digital yang menggunakan teknologi kriptografi (cryptocurrency) bukanlah alat pembayaran sah di Indonesia.

Selain berpotensi menyebabkan instabilitas sistem keuangan juga lemah dalam perlindungan konsumen dan rentan menjadi medium pencucian uang. Dibanding menerima cryptocurrency, bank sentral tegas lebih condong menerbitkan CBDC.

“Artinya kalau sekarang ada rupiah dalam bentuk bank notes maka nanti ada bentuk digital tetapi adiministrasinya tetaplah bank sentral,” ujarnya, di Jakarta, Jumat (2/2/2018).

Menyinggung sedikit soal mata uang virtual berbasis teknologi kriptografi, seperti Bitcoin, maka setidaknya ada tiga hal yang dinilai menjadi tolak ukur dasar guna meneropong perkembangannya.

Kepala Perwakilan J-World Inc. Richard Susilo mengatakan, pertama-tama prospek virtual currency (VC) secara mudah dapat diteropong dari hukum permintaan dan penawaran. Manakala permintaan merosot maka nilainya juga akan jatuh.

“Selain itu, [yang kedua dan ketiga] tergantung penerimaan masyarakat serta tergantung kepada penerimaan pemerintah. Kalau di Jepang, VC semisal Bitcoin resmi diterima sedangkan di Indonesia sebaliknya meskipun mungkin permintaan masyarakatnya ada,” ucap dia.

Richard berpendapat, sebaiknya Indonesia memang tidak menerima keberadaan virtual currency. Hal ini terkait dengan rentannya penggunaan mata uang virtual untuk praktik pencucian uang dari berbagai aksi kejahatan, termasuk pendanaan terorisme.

Dia mencontohkan, Jepang yang infrastruktur TI-nya saja sudah mumpuni sempat kebobolan alias jaringan VC mereka diretas. Nah, Indonesia dinilai lebih rentan mengalami hal seperti ini. Ibaratnya, lebih mencegah daripada mengobati.

“VC ini sangat baik menjadi tempat untuk pencucian uang dari berbagai kejahatan. Karena, tidak jelas siapa di belakangnya. Di Jepang saja bisa diretas dalam satu malam. Kalau di Indonesia, aplikasinya masih terlalu rentan dimanfaatkan seperti Yakuza untuk cuci uang,” ucap Richard.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Fajar Sidik
Terkini