Bisnis.com, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diminta untuk lebih adil dalam mengendalikan lembaga jasa keuangan non bank dan perusahaan teknologi finansial (fintech) penyedia jasa keuangan di Indonesia.
Menteri Perdagangan Republik Indonesia Enggartiasto Lukita menyampaikan agar OJK dapat memberikan kelonggaran bagi lembaga jasa keuangan nonbank untuk mengumpulkan dana pihak ketiga serta kemudahan dalam menyalurkan pinjaman ke industri mikro.
Menurutnya, relaksasi yang diberikan OJK bagi lembaga jasa keuangan nonbank kepada fintech yang bergerak pada usaha peer-to-peer lending (P2P lending) terlalu ketat sehingga membatasi gerak lembaga jasa keuangan nonbank.
Saat ini regulasi yang diberikan OJK kepada P2P lending untuk menghimpun dan menyalurkan dana dinilai Enggartiasto sangat longgar hingga tidak terkendali, dampaknya sejumlah P2P lending menetapkan suku bunga tinggi hingga 5% per bulan.
“[Hal ini] bagus, karena P2P membantu tetapi membebani begitu berat,” ujarnya dalam raker Kemendag di Hotel Borobudur, Jakarta, pekan ini.
Dia tidak keberatan dengan kehadiran P2P lending karena memiliki dampak signifikan terhadap pertumbuhan industri Indonesia.
Meskipun demikian diharapkan agar perusahaan tekfin diberi kewajiban yang sama yakni mengalokasikan porsi tertentu untuk menyalurkan kredit ke industri mikro seperti regulasi yang diterapkan kepada bank.
Untuk diketahui, bank penyalur kredit diwajibkan untuk mengalokasikan 20% dari total portofolio kredit perusahaan kepada industri usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) atas regulasi Bank Indonesia.
Sukarela Batunanggar, Deputi Komisioner OJK Institute, mengatakan OJK memahami bahwa ada sejumlah faktor yang menghambat pertumbuhan UMKM seperti suku bunga dan akses keuangan.
Sampai dengan 2017 inklusi keuangan di Indonesia hanya 36% yang menandakan masih banyak masyarakat yang belum memiliki akses keuangan. Menurutnya, kehadiran P2P lending dapat memfasilitasi kebutuhan akses keuangan yang sangat tinggi.
Portofolio pendanaan dari skema P2P lending pada Desember 2016 tercatat sebesar Rp226 miliar dan terus tumbuh mencapai sekitar Rp2,5 triliun sampai dengan Desember 2017.
“Artinya ini ada sebuah demand yang besar, masih banyak masyarakat yang belum memiliki akses keuangan. Saya kira startup bisa memfasilitasi demand yang sangat tinggi tersebut,” ujarnya.
Ke depan OJK akan mendorong sinergi dan daya saing antara perbankan, lembaga jasa keuangan nonbank, dan perusahaan tekfin dalam upaya meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia. Sukarela juga menyebutkan otoritas akan terus mendorong efisiensi perbankan ke arah digitalisasi. “Kami berupaya untuk mempengaruhi supaya suku bunga bisa lebih rendah,” katanya.
OJK menargetkan regulasi terkait dengan penyedia jasa layanan keuangan berbasis digital atau teknologi finansial (fintech) akan diselesaikan pada kuartal I/2018.
Setelah itu sepanjang 2018 OJK akan menjalankan sejumlah inisiatif keuangan digital sebagai bentuk sosialiasi dari regulasi baru serta untuk membangun startup tekfin di Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel