Perkembangan Industri Penerbangan di Asia Dinilai Belum Maksimal

Bisnis.com,05 Feb 2018, 19:03 WIB
Penulis: Yustinus Andri DP
ilustrasi

Kabar24.com, JAKARTA - Pengembangan kapasitas bandara dan pengelolaan margin operasional dinilai menjadi tantangan bagi perkembangan Industri penerbangan di Asia.

Pendiri perusahaan konsultan bisnis penerbangan Endau Analytics  yakni Shukor Yusof mengatakan, pemerintah negara di Asia cukup lambat dalam berinvestasi di sektor bandara, terutama dalam memperluas kapasitasnya.

Data dari CAPA Center for Aviation yang berbasis di Sydney memperkirakan, dana investasi lebih dari US$1 triliun akan tersedia untuk ekspansi bandara di seluruh dunia. Adapun, separuh dari nilai itu, berada di Asia.

Di Beijing, sebuah bandara baru senilai US$12,9 miliar akan dibuka pada 2019. Proyek itu diperkirakan akan membuat Ibukota China tersebut memiliki pusat penerbangan terbesar di dunia.

Selain itu ada pula Bandara Suvarnabhum di Bangkok yang renovasinya  menelan dana US$3,7 milar. Renovasi itu diharapkan selesai pada 2021 dan membuat bandara tersebut memiliki tiga landasan pacu.

Di belahan Asia lain, terdapat pula megaproyek perluasan Bandara Internasional Incheon Korea Selatan yang telah menghabiskan dana US$4,6 miliar. Langkah itu ditargetkan membuat Incheon akan menjadi salah satu bandara mega-hub.

“Ada perkembangan yang lebih baik pada pembangunan bandara di Asia. Tapi apakah cukup? saya rasa tidak,” kata Jeffrey Lowe, Direktur Pelaksana Asian Sky Group, seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (5/2).

Selain masalah infrastruktur bandara, persoalan margin operasional juga masih menekan pertumbuhan bisnis penerbangan Asia. Menurut data International Air Transport Association (IATA), margin operasional rata-rata untuk industri penerbangan Asia-Pasifik diperkirakan turun dalam tahun kedua menjadi 8,1% pada 2018.

Capaian itu masih lebih rendah dari apa yang dicapai industri serupa di Amerika Utara yang mencapai 12,7%. Adapun, di Eropa, kendati margin operasionalnya baru mencapai 6,6%, tetapi perolehan itu secara konsisten terus tumbuh dalam enam tahun berturut-turut.

Fenomena itu salah satunya terjadi karena pesatnya bisnis perusahaan maskapai bujet. Kehadiran maskapai murah tersebut secara konsisten terus menggerus penumpang maskapai full-service seperti Singapore Airlines dan Cathay Pacific. Kedua perusahaan itu bahkan menyatakan siap meninjau ulang bentuk bisnisnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Gita Arwana Cakti
Terkini