Bisnis.com, JAKARTA – Potensi kerugian industri perbankan masih relatif besar bila melihat tingkat keberhasilan dari pemulihan aset bermasalah (recollection) yang dihapusbukukan.
Kelompok bank BUMN mengungkapkan rasio recovery atau pengembalian aset kredit bermasalah yang dihapusbukukan masih relatif rendah dengan persentase di bawah 50%.
Sebagai contoh PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. menyatakan recollection berkisar Rp3,7 triliun. “Recolection pada 2017 sebesar Rp3,7 triliun,” kata Direktur Utama Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo, beberapa waktu lalu.
Bila dibandingkan pada nilai hapus buku aset bermasalah yang dilakukan bank pelat merah itu pada 2017 yang berkisar Rp12 triliun, nilai tersebut hanya sebesar 30,8%.
Jumlah hapus buku yang dilakukan BMRI sejak 2016-2017 telah mencapai Rp23 triliun. Sejalan dengan itu dan berbagai upaya restrukturisasi lainnya, rasio kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) Bank Mandiri mulai menurun setelah sempat meningkat sejak 2015.
Per akhir tahun lalu, rasio NPL Bank Mandiri turun menjadi 3,46% pada akhir 2017 dari posisi 4% pada tahun sebelumnya. Restrukturisasi kredit bermasalah BMRI kini masih menyisakan kredit bermasalah sebesar Rp25,24 triliun dari total kredit yang disalurkan sebesar Rp729,55 triliun.
Tiko, sapaan akrabnya, mengatakan tahun ini pihaknya masih akan kembali melanjutkan restrukturisasi dan hapus buku terhadap kredit bermasalah. Namun jumlahnya diperkirakan akan cenderung lebih rendah dari tahun lalu, yakni di kisaran Rp10 triliun.
“Tidak semua sisa kredit bermasalah akan dihapus buku. Sekitar Rp10 triliun yang dihapus buku, sisanya bisa direstrukturisasi dan yang hapus buku itu tidak dihapus tagih, kami akan terus melakukan collection,” ungkapnya.
Kendati restrukturisasi kredit bermasalah masih belum sepenuhnya rampung, bank pelat merah itu juga telah mulai menurunkan biaya pencadangan kredit bermasalah lantaran melihat sinyal perbaikan kualitas kredit.
Sepanjang 2017, Bank Mandiri memangkas alokasi biaya pencadangan menjadi Rp16,0 triliun dari Rp24,6 triliun pada 2016. Hal ini turut membuat laba bersih perseroan meningkat 49,5% secara year on year menjadi Rp20,6 triliun pada akhir Desember 2017.
Tiko menuturkan, pencadangan mulai dikurangi karena rasio NPL telah turun 0,54% dari posisi akhir Desember 2016 sebesar 4,00%. Kendati alokasi biaya pencadangan turun, coverage ratio NPL justru meningkat 10,63% dari posisi 124,4% pada 2016 menjadi 135,09%.
“Biaya pencadangan tahun ini turun, namun seiring dengan restrukturisasi dan recollection, rasio pencadangan tetap meningkat signifikan karena NPL membaik,” ujarnya.
Tren penurunan NPL diperkirakan akan berlanjut pada 2018 dengan proyeksi di kisaran 2,6% - 2,8%. “NPL gross perlu waktu 2 tahun untuk normal di kisaran 2%, jadi mungkin baru di 2019 -2020,” tambahnya.
BNI
Secara terpisah, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. juga masih mengalami hal serupa. Sepanjang 2017, BNI melakukan write off kredit bermasalah sebesar Rp8,73 triliun, meningkat 189,8% dibandingkan hapus buku yang dilakukan pada 2016 sebesar Rp3,01 triliun.
Namun kredit yang berhasil direcovery atau ditagih kembali pada 2017 lalu hanya sebesar Rp2,22 triliun. Bila dibandingkan dengan total kredit hapus buku, rasio recovery tahun lalu sebesar 25,4%, melambat dibandingkan dengan rasio recovery pada 2016 sebesar 49,7%.
Terkait dengan NPL, total kredit yang direstrukturisasi BNI per tahun lalu mencapai Rp30,43 triliun atau sebesar 6,9% dari total kredit, turun tipis dibandingkan dengan jumlah restrukturisasi setahun sebelumnya Rp30,87 triliun, atau 7,33% dari total kredit.
Tiga debitur dengan restrukturisasi terbesar berasal dari sektor industri pertanian Rp1,6 triliun, industri kemasan plastik Rp1,5 triliun dan pertambangan Rp1,2 triliun.
Dari Rp30,43 kredit hasil restrukturisasi tersebut, hanya 57,6% yang berhasil atau menjadi kredit lancar (kolektabilitas I). Sisanya sebanyak 13,8% masih tetap masuk dalam kategori NPL, dan sebanyak 28,5% masuk dalam kategori special mention atau kolektabilitas II.
Wakil Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Herry Sidharta menyampaikan coverage ratio BNI naik dari 146% pada 2016 menjadi 148% pada tahun lalu.
Hal tersebut didukung dengan perbaikan kualitas aset kredit BNI selama 2017 yang tampak dari penurunan rasio NPL 2,9% pada akhir 2016 menjadi 2,3% pada 2017.
“Membaiknya kualitas kredit membuat beban CKPN BNI ditahun 2017 turun 13,6% dibanding periode tahun sebelumnya,” tuturnya kepada Bisnis, pekan lalu.
BTN
Pada perkembangan lain, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. menyatakan nilai hapus buku kredit bermasalah pada tahun ini diperkirakan masih akan stagnan seperti tahun lalu.
“Proyeksi hapus buku kami sama dengan tahun lalu sebesar Rp600 miliar – Rp700 miliar,” kata Direktur Bank Tabungan Negara Nixon Napitupulu.
Adapun, recovery rate Bank BTN ada di kisaran 22%-25%. Nixon menjelaskan, recovery tersebut di luar nilai bunga yang tertagih.
“Kalau pas tagihan, pokoknya masuk ke fee based income, sedangkan bunganya masuk ke pendapatan bunga. Kalau digabungkan sih [recovery rate] kasar di atas 25%. Tiap bank definisinya berbeda,” paparnya.
BRI
Secara terpisah, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. menyatakan hapus buku yang dilakukan pada 2017 mencapai Rp9 triliun. Aksi hapus buku dilakukan secara merata pada hampir semua segmen bisnis, baik UMKM, mikro dan ritel.
"Recovery-nya kurang lebih 53%. Ke depan recovery kami targetkan menjadi 60% dan kami optimistis kualitas kredit tahun in
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel