Bisnis.com, JAKARTA - Pekerja di sektor perbankan memiliki imej parlente dan kinclong. Namun ternyata, gaji yang mereka terima tidak secemerlang penampilan yang harus dijaga di depan para nasabah.
Isu kesejahteraan karyawan masih menjadi tantangan besar yang belum terpecahkan. Sebab, tidak semua pegawai bank mendapatkan gaji yang cukup untuk membiayai hidup layak.
Prana Rifsana, Ketua Umum Serikat Pekerja PT Bank Permata Tbk., mengatakan pekerja di sektor perbankan di beberapa wilayah bahkan masih menerima gaji di bawah standar upah minimum provinsi.
Dia mengambil contoh kasus di Kota Depok. Dalam penetapan upah minimum sektoral, para pekerja di industri jasa perbankan bersama dengan jasa perdagangan diputuskan mendapatkan upah Rp3,69 juta per bulan.
Upah tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan gaji pekerja di sektor pasar modern, supermarket, dan hypermarket, yang ditetapkan Rp3,98 juta per bulan. Upah pegawai bank jauh di bawah gaji pekerja di sektor kimia dasar, industri kimia organik, energi, dan logam yang ditetapkan Rp4,17 juta per bulan.
Di Jawa Timur, upah karyawan bank di Kota Surabaya lebih rendah dibandingkan dengan pegawai bank di Kota Pasuruan. “Gaji pegawai bank di bawah upah pegawai pasar modern seperti Indomaret dan Alfamart," katanya kepada Bisnis belum lama ini.
Minimnya kesejahteraan pegawai bank menjadi salah satu agenda advokasi yang diusung oleh Jaringan Komunikasi Serikat Pekerja Perbankan (Jarkom SP Perbankan). Gabungan serikat pekerja dari 19 bank tersebut menuntut upah layak bagi para pekerja di sektor perbankan.
Tuntutan utama mereka adalah kenaikan upah sebesar 30% di atas Upah Minimum Provinsi (UMP). Mereka merasa layak mendapatkan kenaikan upah mengingat besarnya kontribusi sektor perbankan terhadap perekonomian nasional.
Selama ini, menurut Prana, rendahnya upah yang diterima oleh pegawai bank disebabkan oleh minimnya keterlibatan serikat pekerja dalam penentuan upah. Serikat pekerja sudah berupaya berunding dengan asosiasi perbankan seperti Persatuan Perbankan Nasional (Perbanas), Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia (Asbisindo), dan Himpunan Bank Negara (Himbara).
Namun, pada setiap perundingan tersebut tidak satupun dari asosiasi yang merasa dapat mewakili perusahaan industri perbankan dalam merundingkan upah minimum sektor perbankan.
Padahal, di sisi lain, kontribusi sektor perbankan terhadap pertumbuhan perekonomian nasional maupun daerah cukup besar.
Dia memaparkan data, pada kuartal III tahun lalu kontribusi laba emiten sektor perbankan terhadap ekonomi nasional mencapai 27,53%. Hanya kalah dari emiten farmasi.
RISIKO TINGGI
Di sisi lain, risiko yang harus ditanggung pekerja bank tergolong tinggi. Mereka merupakan subjek dari Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Pencucian Uang, Undang-Undang Transfer dana dan Undang-Undang KUHP yang ancamannya rata-rata di atas 5 tahun penjara.
Tingginya risiko tersebut membuat kualifikasi pekerja bank sangat tinggi. Minimal staf bank harus berijazah strata I.
Mengingat besarnya kontribusi sektor perbankan plus risiko yang dihadapi pekerja, maka Prana menganggap besaran 30% untuk kenaikan UMP dirasa wajar. "Tahun lalu naik tapi hanya 5% di atas UMP," imbuhnya.
Tantangan lain yang dihadapi karyawan bank adalah kehadiran teknologi finansial (tekfin). Kehadirannya membuat sejumlah pos pekerjaan bisa digantikan oleh teknologi yang lebih efisien. Alhasil, bank pun terpaksa memangkas jumlah karyawan.
Seperti yang dilakukan oleh PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk. (BTPN) dan PT Bank Danamon Tbk.
Dalam laporan keuangan BTPN, pada akhir Desember 2017 mereka merumahkan 4.525 orang akibat pengurangan kantor cabang dan perampingan organisasi. Jumlah karyawan BTPN dan anak usaha yang tersisa menjadi 20.912 unit dari sebelumnya 25.437 orang per akhir tahun 2016.
Jumlah kantor cabang BTPN berkurang dari 85 kantor pada 2016 menjadi 84 kantor. Pengurangan paling drastis terjadi pada kantor cabang pembantu yakni dari 746 unit menjadi 304 unit.
Adapun, Bank Danamon merumahkan karyawan sebanyak 2.322 orang. Manajemen Bank Danamon terpaksa melakukan pengurangan sebagai bagian dari upaya perbaikan kualitas aset Danamon Simpan Pinjam.
Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri sebelumnya mengatakan, kehadiran tekfin memang suatu keniscayaan. Banyak proses kerja yang terpangkas sehingga memaksa perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Namun, dia berharap pihak bank dapat bijak dalam melakukan.
"Perusahaan harus punya skema transformasi yang jelas, termasuk bagaimana memperlakukan para pekerja seiring dengan perubahan teknologi yang ada," ujarnya.
BTPN sudah melakukan program pengakhiran kerja sukarela (PPKS) sejak Agustus 2017 lalu. Direktur Utama BTPN Jerry Ng menjelaskan program PPKS tersebut merupakan bagian dari restrukturisasi organisasi yang dilakukan perseroan sejalan dengan pengembangan digitalisasi perbankan.
Terkait kehadiran Tekfin, Prana mengakui bahwa hal tersebut sulit dihindari. Namun, jika bank harus melakukan PHK, sebaiknya dilakukan secara bermartabat.
"Artinya harus transparan. Prosesnya voluntary atau penawaran agar mereka yang mengambil sudah siap," tegasnya.
Selain itu, perusahaan juga harus melakukan pelatihan dan proses pendampingan, salah satunya dalam hal wirausaha. Di samping itu harus ada jaminan kesehatan hingga usia tertentu.
Isu kesejahteraan karyawan memang masih menjadi tantangan di Indonesia. Tak terkecuali karyawan di sektor perbankan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel