Bisnis.com, DENPASAR—Otoritas Jasa Keuangan dan Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia atau AAJI tengah menyusun peraturan mengenai insurance technologi atau insurtech untuk mengantisipasi perkembangan teknologi yang merambah industri keuangan khususnya perasuransian.
Ketua AAJI Hendrisman Rahim mengatakan pihaknya dengan regulator sudah beberapa kali mengadakan focus grup discusion (FGD) mengenai insurtech untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai kelebihan dan kekurangan industri teknologi asuransi serta apa saja yang harus diantisipasi. Dari diskusi itu diharapkan akan ada Peraturan OJK mengenai insurtech sehingga ada arahan yang baik bagi industri asuransi.
“Dari situ diharapkan ada rule tata cara yang baik, karena ini [insurtech] menarik dan dirasakan pelaku, tetapi meskipun menarik risikonya juga tinggi. Memang harus ditata dengan baik makanya FGD terus menerus,” jelasnya di sela-sela acara Digital and Risk Management in Insurence (DRiM) di Nusa Dua, Kamis (22/2/2018).
Hendrisman mengaku regulator sebenarnya mengharapkan beleid tersebut sudah bisa dikeluarkan pada tahun. Industri, katanya, akan mengikuti kebijakan regulator terkait kapan aturan tersebut bisa diluncurkan. Diakuinya, insurtech di Indonesia masih akan menghadapi kendala seperti belum dapat digunakannya tanda tangan digital.
Dalam undang-undang masih disebutkan bahwa tanda tangan harus basah. Hal ini pula yang kemudian diikuti pelaku asuransi dengan mewajibkan surat pernyataan asuransi jiwa harus ditandatangani basah. Hal seperti itu diharapkan bisa diatur termasuk dalam beleid insurtech yang sedang diproses sehingga ada solusi bagi pelaku.
Hendrisman mengakui insurtech sudah ada bermunculan di luar negeri, karena itu perusahaan asuransi joint venture (JV) dapat membagikan ilmunya di Tanah Air. Dia menyakini kemampuan JV selangkah lebih maju soal insurtech sehingga diharapkan dapat mengadopsi sistem teknologi yang telah diaplikasikan di luar negeri tersebut.
Lebih lanjut dijelaskan beleid insurtech ditunggu oleh pelaku karena perusahaan asuransi jiwa di Indonesia hampir sebagian besar mulai mengarah ke digitalisasi. Meskipun diakuinya bahwa di Indonesia sekarang ini pelaku baru sebatas menjajal jalur distribusi daring, tetapi belum ada yang menjual produk lewat sistem digital menggunakan aplikasi tertentu.
“Apakah sudah ada yang melakukan penjualan produk lewat digital? Kalau menurut kami sudah ada tetapi saya tadi bicara dengan OJK. Industri asuransi jiwa sampai hari ini yang terdaftar di OJK jualan digital itu belum ada,” jelasnya.
Hendrisman menyatakan OJK sudah meminta kepada AAJI apabila ada perusahaan asuransi jiwa yang menjual produk melalui jalur digital untuk melaporkannya. Sistem digital, menurutnya, akan membantu pelaku usaha karena lebih efisien meskipun rentan. Kendati demikian sistem ini tidak perlu dikhawatirkan karena diyakininya belum akan menghilangkan eksistensi jalur distribusi keagenan.
Menurutnya, Indonesia memiliki kekhasan tersendiri terkait keberadaan agen karena konsumen ketika membeli produk asuransi karena pertimbangan emosional. Kondisi seperti itu berbeda jika dibandingkan dengan di luar negeri yang bisa mempercayakan langsung kepada teknologi.
“Di Indomesia menarik, saya masih punya keyakinan walaupun sudah masuk era digital tapi peran agen tidak bisa hilang. Setidaknya 5 sampai 10 tahun ke depan agen asuransi masih diperlukan. Di luar negeri mungkin tidak tapi disini masih,” jelasnya.
Sementara itu, untuk tahun ini AAJI memproyeksikan, premi asuransi jiwa akan tumbuh sekitar 20% meskipun ada hajatan pilkada serempak. Hendrisman menyatakan prediksi itu didasarkan dari pengalaman selama rentang waktu 10 tahun di mana industri selalu tumbuh kisaran 10%-30%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel