Bisnis.com, JAKARTA — Penyaluran kredit ke sektor pertambangan yang terus menyusut terutama sejak 2016 dinilai ekonom tidak selalu dilihat sebagai sisi negatif terkait perlemahan bisnis komoditas. Sisi lainnya, terus terjadi pengurangan ketergantungan terhadap komoditas tambang.
Ekonom Bank UOB Indonesia, Enrico Tanuwidjaja membenarkan kontribusi lapangan usaha pertambangan terhadap GDP terus turun. “Karena memang tidak bagus kalau kita terus tergantung terhadap pertambangan,” jelasnya kepada Bisnis.com di Jakarta, Kamis (22/2/2018).
Menurutnya, selain karena gejolak harga yang membuat bisnis komoditas tambang melemah juga secara umum terjadi pergeseran paradigma dalam perekonomian RI. Pada tahun-tahun lampau yang menjadi tulang punggung adalah komoditas sekarang lebih kepada manufaktur, perdagangan, dan jasa.
Pelemahan permintaan dan risiko kredit sektor pertambangan tampak dari kredit macetnya yang melesat terutama sejak 2016 hingga tahun lalu. Kenaikan rasio kredit bermasalah alias NPL ini terus berlangsung manakala nilai penyaluran pinjamannya terus menyusut.
Berdasarkan data yang dipublikasikan Bank Indonesia diketahui bahwa per November tahun lalu nonperforming loan (NPL) gross dari kredit yang disalurkan kepada seratus debitur korporasi terbesar mencapai 7,73%.
Persentase itu menunjukkan level rasio kredit bermasalah yang lebih tinggi secara year on year. Pasalnya, sampai dengan bulan yang sama pada 2016 rasio NPL di kisaran 6,50%. Bank sentral mencatat bahwa lonjakan rasio kredit bermasalah terjadi sejak dua tahun silam.
Statistik Sistem Keuangan Indonesia (SSKI) yang dilansir BI mencatat bahwa sebelum 2016 rasio NPL sektor pertambangan terjaga di bawah 3%. Perinciannya a.l. per 2012 sebesar 0,47%, per 2013 sekitar 0,52%, per 2014 sekitar 2,14%, dan per 2015 di level 2,89%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel