Short Fall Tak Tercegah Meski Penerimaan Pajak Naik 11,17%

Bisnis.com,23 Feb 2018, 09:32 WIB
Penulis: M. Richard
Ilustrasi penagihan pajak./Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA—Pertumbuhan penerimaan pajak 11,17% pada Januari 2018 tidak dapat menghilangkan kemungkinan short fall 2018 dan pemerintah diharapkan pemerintah untuk segera melakukan revisi APBN.


Kepala Peneliti Fiskal DDTC Bawono Kristiaji mengatakan, pemerintah mengklaim pertumbuhan penerimaan pajak Januari tersebut merupakan penerimaan tertinggi selama 4 tahun.

"Nah, tapi sebenarnya kalau kita lihat ini kan baru 11% pertumbuhannya,[Sedangkan] kalau kita lihat dari realisasi dan target [penerimaan pajak] tahun itu [sangat timpang]," katanya dalam acara Tax Update DDTC, di Jakarta, Kamis (22/2/2018).

Pasalnya, realisasai penerimaan pajak hingga Januari hanya Rp78,9 triliun, sedangkan target yang ditetapkan dalam APBN 2018 adalah Rp1.424 triliun.

"[Artinya] itu kan pertumbuhan [penerimaan pajak seharusnya] sebesar 23% atah 24%, jadi sebenarnya masih banyak sekali ruang," imbuhnya.

Adapun, Bawono menyarankan pemerintah segera merevisi target APBN 2018-nya, karena realisasi penerimaan pajak yang dianggap signifikan oleh pemerintah, masih belum dapat dikatakan cukup untuk mencapai target penerimaannya.

Bahkan dia memprediksikan, short fall pajak akan tetap terjadi pada tahun ini, ditambah jika pemerintah tidak sehera merevisi targetnya, short fall pajak akan semakin lebar. "Harus ada revisi, kalau tidak short fall lagi, dan akhirnya hutang lagi," imbuhnya.

Selain permasalahan target pemerimaan pajak yang masih belum cukup, kata Bawono, permasalahan jugaterjadi padai beberapa asumsi makro ang pemerintah tetapkan di APBN 2018, seperti harga minyak dan nilai tukar.

Adapun, harga minyak mentah yang pemerintah tetapkan di APBN 2018 adalah US$48, sedangkan harga minyak West Texas Intermediate untuk pengiriman April 2018 saat ini (23/2/2018) berada pada posisi US$62,77 per barel, dan harga minyak Brent untuk kontrak April berada pada posisi US$66,39 per barel.

Berdasarkan catatan Bisnis, rupiah diprediksi masih akan bergerak di rentang Rp16.000 per US$, dan per hari ini (23/2/2018) rupiah berada pada level Rp13.643 per US$. Sementara itu target dalam APBN 2018 adalah Rp13.400 per US$.


"Ini gara-gara US tax reform kan, dolarnya menguat, jadi pasti memang perlu untuk merevisi [APBN 2018]," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Sutarno
Terkini