Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah pengamat ekonomi memprediksi era suku bunga murah di Indonesia sudah berakhir. Penyebab utamanya adalah pengetatan moneter di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Chief Economist PT Bank Danamon Indonesia Tbk. Anton Hendranata mengatakan, peluang 7 days reverse repo sebagai suku bunga acuan bank di Indonesia amat tipis.
Pasalnya bank-bank sentral di negara maju cenderung hawkish alias agresif karena pemulihan ekonominya cukup bagus. Saat ini suku bunga acuan BI ada di level 4,25%.
"Jadi temanya kebijakan moneter ketat dengan menaikkan suku bunga, normalisasi neraca bank sentral dan tapering off untuk European Central Bank," katanya kepada Bisnis, Selasa (27/2/2017).
Dia menjelaskan, kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia tergantung seberapa besar kenaikan Fed Rate naik dan tekanan terhadap rupiah.
"Semakin kuat dollar AS maka tekanan ke rupiah semakin tinggi," imbuhnya.
Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, tahun ini era bunga murah sudah berakhir.
Hal tersebut tercermin dari berbagai bank sentral yang berniat melakukan pengetatan moneter.
"Imbasnya suku bunga acuan BI kemungkinan akan dinaikkan dan ruang bagi BI untuk turunkan bunga bisa dikatakan sempit sekali," ujarnya.
Oleh karena itu, dia berharap gubernur BI yang baru kelak punya terobosan selain bermain dengan kebijakan suku bunga acuan.
Sebelumnya, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk atau BCA Jahja Setiaatmadja mengharapkan gubernur BI yang baru bisa menjaga inflasi tetap rendah serta kurs rupiah dan dolar Amerika Seikat tetap stabil.
"Serta bunga yang stabil atau naik sedikit disesuaikan dengan Fed Rate dan negara-negara lain agar kurs US$ terjaga dengan baik," jelasnya.
Jika menilik pada kebijakan suku bunga BI, terakhir kali bank sentral menurunkan suku bunga acuan adalah pada September 2017 sebanyak 25 basis poin. Setelah itu, selama lima bulan berturut-turun BI menahan suku bunga acuan di posisi 4,25%.
Pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) beberapa waktu lalu, Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, sejumlah risiko yang perlu diwaspadai antara lain peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global terkait ekspektasi kenaikan Fed Fund Rate (FFR) yang lebih tinggi dari perkiraan dan peningkatan harga minyak dunia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel