Defisit Neraca Perdagangan Bisa Pengaruhi Kesehatan Fiskal

Bisnis.com,19 Mar 2018, 11:53 WIB
Penulis: Edi Suwiknyo
Petugas dibantu alat berat memindahan kontainer dari kapal ke atas truk pengangkut di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Selasa (17/5). JIBI/Bisnis/Dwi Prasetya

Bisnis.com, JAKARTA - Tren defisit neraca perdagangan yang terjadi 3 bulan berturut-turut perlu diwaspdai, karena jika hal itu terus berlanjut, efeknya bisa memengaruhi kesehatan fiskal. 

Berdasarkan catatan Bisnis, setelah mengalami surplus pada November 2018, neraca perdagangan secara berturut -turut mengalami defisit. Pada Desember 2017 defisit tercatat sebesar US$270 juta, kemudian berlanjut pada Januari 2018 di mana defisit mencapai US$756 juta, tren serupa terjadi pada Februari 2018 yang defisit sebesar US$116 juta. 

Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Adriyanto mengatakan, untuk memutus tren defisit diperlukan strategi yang bisa mendorong ekspor dan investasi. 

Namun demikian, kebijakan ini sangat  ditentukan oleh situasi global. Artinya, baik permintaan ekspor maupun investasi dari luar negeri akan bergantung pada stabilitas perekonomian dan  kebijakan dari lingkup eksternal. 

"Penguatan ekspor dan arus masuk dana asing penting untuk menambah devisa, tetapi ini juga tergantung dengan kondisi di luar sana," kata Adriyanto kepada Bisnis, Senin (19/3/2018).

Seperti diketahui, sebagian kelangan mengkhawatirkan tren defisit neraca perdagangan akan berdampak pada stabilitas ekonomi makro. Apalagi, ekspor tahun lalu menjadi salah satu indikator pelecut pertumbuhan ekonomi.  

Selain indikator utama pertumbuhan ekonomi, defisit neraca perdagangan itu juga dikhawatirkan akan terus menghambat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. 

Meski dibayangi risiko terhadap stabilitas ekonomi makro, pemerintah optimistis, neraca perdagangan akan kembali pulih pada semester kedua tahun ini. Menurut Adriyanto, secara historis, defisit yang terjadi awal tahun ini merupakan situasi yang normal.

"Hal ini karena didorong antara lain karena pemenuhan faktor produksi dan akan ada tekanan lebih lanjut menjelang hari libur nasional," jelasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Achmad Aris
Terkini